Photobucket
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

31 January 2002

Fan Tek Fong - Hadi Mulyadi "puas hidup dengan kebanggaan"



Masa Kejayaan
Tek Fong, demikian ia biasa dipanggil, mulai mengenal sepak bola saat berusia 10 tahun. Ketika itu, ia hampir setiap hari datang ke Petak Sinkian untuk melihat Thio Him Tjiang, Djamiaat Dhalhar, Kwee Kiat Sek, Chris Ong, dan Van der Vin berlatih di bawah pimpinan pelatih Drg. Endang Witarsa (Liem Sun Yu). Pada tahun 1960 Tek Fong diterima masuk Union Makes Strength (UMS) setelah Dokter Endang melihat ada kelebihan di kakinya. Hampir bersamaan dengannya, masuk pula Surya Lesmana, Reni Salaki, Kwee Tik Liong, dan Yudo Hadianto.

Tek Fong adalah satu dari sekian banyak murid terbaik Endang Witarsa. Endang tak hanya menjadikannya sebagai libero andal di masanya, tapi juga mengajarkan bagaimana menjalani hidup di luar lapangan. Ketika Endang dipercaya menjadi pelatih Persija Jakarta pada tahun 1963, Ia juga membawa Tek Fong untuk bergabung. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Suntoro, Taher Yusuf, dan Domingus Wawayae berhasil membawa Persija menjadi juara Perserikatan 1963. Tek Fong kemudian pindah ke klub Pardedetex Medan pada tahun 1969.

Saat Dokter Endang dipercaya sebagai pelatih tim nasional, Ia juga meminta Tek Fong untuk bergabung. Pretasinya di tim nasional semakin cemerlang. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Soentoro, Abdul Kadir, Risdianto, Surya Lesmana, Yakob Sihasale, Reni Salaki, Yuswardi, serta Anwar Udjang berhasil membawa berbagai gelar juara ke Indonesia.

Tek Fong kemudian memperkuat Klub Warna Agung pada tahun 1972. Benny Mulyono, pemilik klub, memintanya untuk menarik sejumlah pemain nasional memperkuat klub pabrik cat yang bermarkas di Jalan Pangeran Jayakarta. Di bawah pelatih drg. Endang Witarsa, Tek Fong bersama dengan Risdianto, Rully Nere, M. Basri, Yakob Sihasale, Timo Kapissa, dan Robby Binur mengantar klub Warna Agung ke puncak kejayaan.

Tek Fong memang tak tergeserkan selama delapan tahun di tim nasional. Ia tidak hanya membawa Persija Jakarta menjadi juara Perserikatan pada tahun 1963 tetapi juga ikut mempersembahkan empat gelar juara bagi tim nasional Indonesia, yaitu; King's Cup 1968, Merdeka Games 1969, Anniversary Cup 1972, dan Pesta Sukan 1972.


Dokter Endang sebagai Guru Besar
Tek Fong menganggap drg Endang Witarsa sebagai guru besarnya. Dokter Endang adalah pelatih ketika Tek Fong memperkuat UMS, Persija Jakarta, Warna Agung, dan tim nasional PSSI. Baginya, dokter Endang adalah sumber inspirasi karena hidupnya benar-benar dibaktikan pada sepak bola.

Tek Fong tidak jauh dari Dokter Endang ketika sang legenda tersebut menjalani perawatan hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir. Ia menangis ketika ikut merasakan apa yang dirasakan Dokter. Ketika Dokter Endang sedang menahan kesakitan, Ia masih sempat-sempatnya menanyakan kondisi lapangan Petak Sinkian.

Tek Fong masih teringat ajaran-ajaran yang diberikan Dokter Endang. Dokter Endang selalu mengingatkan agar Tek Fong bersikap jujur, tidak berbohong, dan memelihara pertemanan dengan baik. Ia baru menyadari pertemanan yang dimaksud ketika Dokter memindahkannya dari Persija ke Pardedetex Medan pada 1969. Ternyata Dokter sudah berteman dengan T.D. Pardede ketika pengusaha Medan itu mendirikan klub Pardedetex.

Berkarier menjadi Pelatih
Setelah 12 tahun menjadi pemain sepak bola, Tek Fong kini menjadi salah satu pelatih Sekolah Sepak Bola Union Makes Strength (UMS), klub sepak bola yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. "Saya ingin menghabiskan masa tua di sini," katanya. Ia adalah sedikit dari banyak pemain nasional etnis Tionghoa yang masih tersisa.

Sebagian mimpi lelaki dengan dua anak ini kini terwujud. Tek Fong sangat bangga ketika memperkenalkan Robo Solissa, yang bermain untuk klub UMS, anggota Divisi Utama Persija Jakarta. Nyong Ambon itu adalah hasil didikannya selama tiga tahun di Sekolah Sepak Bola UMS di Petak Sinkian.

Tek Fong tidak terlalu peduli walau dia tak mendapatkan apa-apa kecuali kebanggaan saat membesarkan meteor bola baru. "Jangan tanya saya punya apa dari sepak bola," katanya. Kebanggaan baginya tak bisa dikalahkan dengan apa pun, bahkan dengan uang. Lelaki yang hampir setiap hari berada di lapangan Petak Sinkian itu memang tak punya apa-apa. Hidupnya jauh dari mentereng. Lelaki itu cukup puas hidup dengan kebanggaan.

Karir sebagai Pemain
* Tim nasional PSSI (1964-1972)
* Klub UMS (1960)
* Klub Persija Jakarta (1963)
* Klub Pardedetex Medan (1969-1970)
* Klub Warna Agung (1972)
* Klub UMS (1990)

Prestasi
* Juara Aga Khan Cup 1967 di Dhaka, Bangladesh
* Juara King's Cup 1968 di Bangkok, Thailand
* Juara Merdeka Games 1969 di Kuala Lumpur, Malaysia
* Juara Anniversary Cup 1972 di Jakarta
* Juara Pesta Sukan 1972 di Singapura

Fan Tek Fong alias Hadi Mulyadi alias Mulyadi (lahir di Serang, 19 September 1943 – meninggal 30 Januari 2011 pada umur 67 tahun) adalah seorang pemain sepak bola Indonesia di era tahun 1960an. Pada masanya, Ia dikenal sebagai pemain belakang yang andal. Ia pernah memperkuat tim nasional PSSI, UMS, Persija, Pardedetex, dan Warna Agung.

Sumber: Wikipedia


26 January 2002

Yang Menang, Yang Kalah: Wasit (Final Piala Suharto 76)


Pertandingan final piala Suharto antara team persija dan persipura tertib. Banyak ketimpangan dilakukan pimpinan pertandingan: wasit dan hakim garis. Hutasoit cemas atas rendahnya mutu wasit.

KETIKA team Persija dan Persipura tengah melakukan latihan pemanasan di ruang bawah Stadion Utara Senayan menjelang pertandingan final turnamen Piala Soeharto, Senin 19 April malam lalu, tiba-tiba Ketua Umum PSSI, Bardosono muncul di antara mereka. Kepada kedua kesebelasan ia merasa perlu untuk menitip pesan agar masing-masing fihak mencegah terjadinya permainan kasar dalarn pertandingan nanti. “Jaga nama baik Pak Harto”, tutur Bardosono di akhir wejangan seperti yang diceritakan kembali oleh poros halang Persija, Oyong Liza kepada TEMPO .

Di atas lapangan, kesebelasan Persija memang telah berbuat segalanya untuk menyelamatkan amanat. Termasuk menghindarkan permainan keras yang hisa menjurus untuk memancing lawan membalas dengan kasar dan kotor. Bermain dengan beban mental yang demikian, apa yang tersisa bagi Persija tak lain keunggulan teknis semata. Dan andalan itu tak banyak menolong Persija dalam menghadapi tipe permainan Peripura. Kecolongan 3 gol terlebih dahulu Iswadi dan kawan-kawan hanya sempat membalas 2 angka menjelang jedah. Adakah ketinggalan Persija itu disebabkan oleh beban psikologis tertentu selama ini mereka memang jarang bisa mengungguli Persipura dalam mengendalikan permainan lawan yang sama? “Sama sekali tidak”, bantah Oyong Liza seusai pertandingan. Berbau Offside Oyong mungkin benar. Tapi ucapannya itu belum dengan sendirinya menjawab kelemahan Persija. Akhirnya jawaban kunci keluar dari mulut pelatih Persija, Sinyo Aliandu: “Beberapa pemain Persija berada dalam kondisi yang kurang fit”.

Adakah lahirnya gol ketiga dari kaki kanan luar Persipura, Pieter Atiamuna–terjadi di saat Oyong tergeletak di lapangan tanpa diperdulikan oleh wasit – lantaran tidak beradanya Oyong dalam kondisi terbaiknya? “Kon disi saya memang agak kurang baik waktu itu. Tergeletaknya saya bukan lantaran itu. Tapi, karena lutut saya ditendang oleh pemain Persipura”, dalih Oyong. Meski gol yang terjadi di saat lawan tak berdaya itu bisa mengundang protes terhadap wasit, namun hal itu tak sampai keluar dari pemain Persija.

Bahkan terjadi gol penentuan untuk kemenangan Persipura–setelah kedudukan 3-3 yang berbau off-side–penjaga garis Sunaryo Toto sudah mengangkat bendera untuk memperingatkan wasit – pun tidak menimbulkan sikap penolakan dari mereka. Yang mencak-mencak adalah Team Manajer Persija, Pranowo. “Harap dicatat bahwa gol keempat Persipura itu off side”, katanya kepada Ketua Komisi Pertandingan PSSI, Subronto. Dan, “Persija tidak memprotes hal itu karena berprinsip lebih penting mensukseskan turnamen daripada sukses Persija sendiri” Melihat ketimpangan-ketimpangan itu mau tidak mau orang berpaling pada pimpinan pertandingan: wasit dan hakim garis. Sebab kesalahan serupa bukan hanya terjadi di final, juga dalam babak sebelumnya. Dan kenyataan ini mengundang tokoh sepakbola Jayakarta, drs. F.EI. Hutasoit untuk ikut bicara:”Dengan menurunkan wasit-wasit yang belum pada tempatnya memimpin pertandingan besar seperti perebutan Piala Soeharto, PSSI akan membahayakan dunia persepakbolaan di Indonesia”.

Bahaya yang dicanangkan Hutasoit itu adalah kemungkinan timbulnya sikap apatis dari pemain, pengurus bond dan klub selama cara seperti- sekarang tetap dipertahankan oleh pengurus PSSI. “Kalau sampai demikian keadaannya akan lebih parah bagi perkembangan sepakbola di tanah air”, tambahnya kepada 3 wartawan olahraga yang menemuinya di ruang kerjanya di Balai Kota DKI Jakarta. “Coba saudara bayangkan bagaimana jika sampai permain seperti Nobon, Waskito, Ronny Patti atau Iswadi sampai menggantungkan sepatu lantaran kejadian seperti ini. Siapa yang rugi? Kan kita semua”. Kecemasan Hutasoit itu bukannya tak berdasar.

Kapten kesebelasan PSMS, Yuswardi pun merasakan itu. “Jika pertandingan nasional tetap dipimpin oleh wasit-wasit sekarang, saya mungkin akan berfikir dulu untuk ikut main”katanya kepada TEMPO dalam acara perpisahan di Taman Ria Remaja, pekan lampau. Seperti juga dengan Hutasoit, pemain asal Medan ini juga tak sepenuhnya mengecam wasit itu sendiri. “Mereka telah bekerja sesuai dengan kemampuan mereka. Yang salah adalah yang memilih mereka”, lanjut Yuswardi. Adakah kenyataan ini merupakan gambaran dari kemunduran dunia perwasitan PSSI? Tampaknya begitu. “Secara umum dunia perwasitan kita memang mengalami penurunan sejak 8-tahun belakangan ini”, jawab tokoh wasit PSSI yang enggan disebut nama. Kalau sudah begitu, apa boleh buat. Dan bukan tak mungkin kekuatiran Hutasoit akan tersandungnya turnamen nasional di batu yang sama akan terulang lagi.

Sumber: Kliping Sepabola Indonesia


Artikel Tempo Tempo 22 November 1975: Persija, Persebaya, Ya Sama


SEPEKAN lepas meraih predikat juara bersama PSSI kekecewaan publik sepakbola ternyata tak terobati oleh Persija ketika kebolehan mereka diuji degan kesebelasan nasional Selandia Baru Sabtu lalu.

Meski sebelum jedah, kwartet Sutan Harhara, Suaeb Rizal, Oyong Liza dan Jim Ibrahim masih mampu memberikan harapan untuk bemain sama kuat kalau tidak akan menang namun kenyataan itu menjadi punah sewaktu Ronny Pasla terpaksa memungut hasil tendangan, kanan luar Kevin Weymouth dari gawangnya pada menit ke-58. Mengingat mutu permainan team Selandia Baru ini (calon team World Cup ’78) tidak begitu mengesankan, publik dengan cepat digoda dengan tanda tanya: Menurunkan permainan Persija?

Penilaian itu mungkin agak berlebihan. Tapi, apa mau dikata, kemampuan Persija petang itu memang sebgitulah adanya. Tak lagi kelihatan terobosan-terobosan individual Iswadi, Risdianto atau Andi Lala yang sempat memperdayakan lawan sebagaimana biasa, Kendati Junaedi Abdillah sudah mencoba membangun serangan dan melontarkan umpan-umpan yang cantik ke daerah pertahanan musuh. Bahkan tak jarang pula Persija mengurung rapat arena permainan sampai separoh lapangan. Namun gebrakan tetap saja kandas di kaki back Sibley, Park, atau Houghton maupun di tangan kiper, Privan Seram.

Bermain dalam tempo yang tinggi, Persija tampak terdorong oleh “nafsu” ketimbang memakai tak-tik membuka pertahanan lawan yang rapat. Sehingga hampir tiap serangan yang mereka coba selesaikan selalu sia-sia. Sebaliknya bagi Selandia Baru. Dalam kurungan yang begitu rapat itu mereka mengandalkan Weymouth untuk berjaga-jaga sebagai ujung tombak. Sementara yang lainnya ikut membantu menutup arena pertahanan. Sekalipun kerja sama model voorset itu tidak selamanya efektif dan nenuntut ketrampilan individu yang tinggi, tapi taktik itu ternyata membuahkan kemenangan bagi Selandia laru. Tepat pada saat Sutan Harhara tengah melambung maju, gelandang kiri Warren Fleet mengirimkan operan panjang Weymouth yang bergeser ke rusuk kiri. Terobosan Weymouth itu tak sempat lagi dipotong oleh Suaeb Rizal. Berhadapan satu lawan satu dengan kiper, penyerang Selandia Baru ini dengan gampang memperdayakan Ronny Pasla. Terkesima oleh kebobolan itu, Persija mencoba mempergencar serangan balasan. Nanun usaha itu tetap tak memberikan hasil. Akan Persebaya lain pula ceritanya.

Mereka lebih mengumbar nafsu lagi dibanding Persija. Sehingga kerja Sama maupun permainan individu mereka jadi tak menemui bentuk sama sekali, apa lagi setelah kiri dalam, Hartono dikeluarkan wasit gara-gara sikap reaktifnya terhadap perilaku penyerang E. Thomas yang lancang tangan terhadap benturan pisik atas dirinya. Terpengaruh oleh pengeluaran Hartono itu, permainan Persebaya makin tak menentu. Sebab Jacob Sihasale, Kadir atau Waskito terpaksa turun jalan ke bawah untuk membangun sebuah serangan. Hingga sukar untuk membuat gebrakan mendadak. Tapi nasib mereka lebih masih baik dari PSSI Utama ketika melawat ke Selandia Baru beberapa waktu lampau yang kebagian 8 goal tanpa balas.

Sedangkan Persebaya dapat seperempatnya: 2-0. Dari pertandingan Persija dan Persebaya lawan Selandia Baru itu, jelaslah bahwa pemain-pemain nasional kita belum sepenuhnya dapat mengendalikan nafsu mereka. Padahal penguasan emosi itu merupakan faktor yang cukup menentukan pula dalam suatu pertandingan. Meski tidak menjadi jaminan untuk menang, tentunya.

Sumber: Kliping Berita Sepakbola


15 January 2002

Junaedi Abdillah


Junaidi menimba ilmu sepak bola bersama klub Indonesia Muda. Dia juga pernah belajar di Diklat Salatiga pada 1960-an bersama Oyong Liza, Sartono Anwar dan Harsoyo. Dari Salatiga, Junaidi dan Oyong dipanggil masuk tim nasional junior. Di tim yang disebut PSSI B itu, mereka berhasil menjadi runner-up Kejuaraan Juior Asia 1967 di bawah Israel. Ketika itu, Federasi Sepak Bola Israel masih tergabung di zona Asia.

Keberhasilan itu mengantar Junaidi dan beberapa rekan lainnya seperti Oyong, Suaeb Rizal, Harsoyo, Abdul Kadir, Waskito dan Bob Permadi ke tim nasional senior atau PSSI A. Di tim ini, mereka bersaing dengan seniornya seperti Soetjipto Soentoro dan Jacob Sihasale. Junaidi juga pernah memperkuat Indonesia di kualifikasi Olimpiade Munich 1972 bersama dengan Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarani.

Profil:
Tempat/Tgl Lahir: Ampenan, 21 Pebruari 1948
Agama: Islam
Tinggi: 171 cm
Berat: 63 kg
Pekerjaan: Karyawan PN Pertamina

Perjalanan Karir:
1964: TC Salatiga
1966: Benteng, Surabaya
1967: PSSI dan Persebaya
1972: PSAD (Persatuan Sepak Bola Angkatan Darat)
1974: Indonesia Muda dan Persija Jakarta
1975: PSAL (Persatuan Sepak Bola Angkatan Laut)
1977: PSAU (Persatuan Sepak Bola Angkatan Udara)

Sumber : Wikipedia




quote dari Junaedi
Pada Junaedi ditawarkan semacam tulisan “keramat” yang harus disisipkan di kolornya. Maksudnya azimat untuk “aman dan menang”. “Tapi buat saya yang beragama Islam, Tuhan itu tidak ada duanya. Kalau harus mati sekalipun, jadilah kehendakNya”, kata Junaedi yang siap hijrah ke Eropa selepas pre Olimpik. “Buat saya Tuhan menentukan, tapi kita berusahalah dulu”.

Sumber: Seleksi 21 pemain


Menjajagi kelemahan (Persija vs Dukla Praha-Ceko)


Juara PSSI, PERSIJA JAKARTA, berhadapan dengan kesebalasan tamu dari cekoslowakia, dukla praha di senayan. skor 3-0 buat kemenangan dukla. kesebelasan persija masih harus memupuk kestabilan dalam permainan cepat. RABU pekan lalu, sekitar 40.000 penonton di Stadion Utama Senayan sempat menyaksikan Persija, Juara PSSI menempuh ujian pertama. Karena lawannya Dukla Praha, team utama Cekoslowakia, ditambah lagi mereka asuhan Josef Masopust — itu pemain Sisa Dunia pada zaman jayanya Puskas dan Di Stefano – yang pada tahun 1963 ikut menghajar PSSI Selection di Semarang 12–1, maka orang pun mafhum Persija akan “kena batunya”. Tapi agaknya ramalan pasaran taruhan yang menjagoi team tamu dengan memberikan dua-setengah voor untuk Kesebelasan Ibukota, hampir-hampir meleset. Sebab Persija pada babak pertama ternyata dapat menunjukkan kebolehannya dalam mengembangkan kerjasama dan teknik permainan pada tempo tinggi yang dituntut permainan tamu.

Tempo dulu. Paling tidak dalam babak pertama Persija memiliki dua peluang untuk membobolkan gawang Viktor Ivo, penjaga gawang Kesebelasan Eropa. Tapi rupanya gaya salon Kesebelasan Persija diselingi dengan tackling keras, tidak dapat bertahan lebih dari satu babak untuk membendung derasnya serbuan-serbuan Dukla. Meskipun team tamu ini tidak memiliki pemain otak seperti yang pernah diperagakan oleh Masopust tempo dulu, namun homogenitas –dan kematangan back Bendl dan kiper Ivo terutana berhasil menutup lobang-lobang yang diciptakan Risdianto dan kawan-kawan. Semula harapan bagi Persija untuk bertahan seri bukan tidak ada. Tapi barangkali coach Persija Aliandu pun tidak menduga bahwa kwalitas asuhannya memang masih harus ditempa untuk memenuhi keserasian dan kestabilannya mempertahankan tempo permainan tinggi. Keinginan untuk mengendorkan tempo permainan sembari merubah dari taktik terbuka ke tertutup, hanya merangsang Dukla menggencarkan tekanan-tekanan mereka dengan kombinasi bola rendah.

Dalam situasi seperti itu ketenangan kontrol bola dan kerjasama di barisan belakang Persija menunjukkan titik-titik lemah. Gol pertama yang dianulir Wasit Kosasih karena off side, terjadi karena kurang lengketnya Judo memeluk bola. Tapi apa yang terjadi ketika Sutan Harhara gagal mengkontrol bola dengan dada di daerah penalti? Muntahannya dengan baik sekali dimanfaatkan kanan dalam Nehoda untuk merobah keadaan menjadi 1-0. Resiko semacam itu agaknya menunjukkan kegugupan pemain muda ini dalam situasi kritis.

Mati langkah. Ketika serangan Dukla makin menjadi-jadi dan andaikata listrik Stadion tidak ikut “main”, sisa 40 menit berikutnya bukan mustahil merupakan beban amat berat bagi anak-anak Ibukota. Peristiwa yang sebelumnya tidak pernah terjadi dalam pertandingan internasional itu, agaknya memberi sekedar obat kuat bagi Persija. Namun demikian poros-halang Widodo yang membutuhkan ruang gerak agak luas untuk menghadang lawan, nampaknya lebih sering mati langkah. Makin larut permainan, makin gencar barisan depan Dukla melakukan kombinasi pendek, rendah – lalu diakhiri dengan tembakan. Gol kedua terjadi ketika Sofyan Hadi gagal menyapu tembakan keras oleh gelandang Peter Slany di menit ke-7. Ini juga soal ketenangan dan kematangan dalam menguasai tempo permainan yang tinggi. Mirip seperti itu adalah peristiwa pada menit ke-77, ketika dalam pengumuman tegang, Widodo ternyata jauh dari tenang. Bola disodorkannya pada Judo. Tapi apa lacur salah alamat. Peter Slany sekali lagi menggunakan peluang klasik ini dengan suatu lob melampaui kepala Judo yang berada diluar sarang. Barangkali inilah gol yang paling pahit dan bisa dinikmati dengan indah oleh Judo sendiri selama karierya menjadi penjaga-gawang.

Skor 3-0 buat kemenangan Dukla, mcski melukai kebanggaan Persija sebagai Juara, bukan tidak membuka rahasia. Persija masih membutuhkan syarat-syarat berat di samping stamina untuk memupuk kestabilan dalam permainan cepat, tanpa mengurangi ketrampilan teknik dan kerjasamanya.

Sumber:  http://bolaindo.wordpress.com/2010/01/21/menjajagi-kelemahan-persija-vs-dukla-praha-ceko/#comment-44


Artikel Tempo 11 Januari 1975 : BIARLAH PERSIJA SAJA ( PERSIJA VS OFFENBACH )


BERGANTI tahun bersama Kickers Offenbach, PSSI menampilkan Kesebelasan Wilayah III, Wilayah I dan Persija untuk melayani sang tamu.

Offenbach yang pernah mencukur Kesebelasan Nasional 5-1 yang melawat ke Jerman Barat tahun lalu, mengalahkan Wilayah III dan Wilayah I masing-masing 4-2 dan 5-0. Dua pertandingan di buntut tahun 1974 itu pas betul terjadinya. Seolah peristiwa itu ingin mengingatkan betapa terbengkalai pembinaan sepakbola di daerah. Tapi bersama terbenamnya pesimisme di tahun yang lalu, harapan cukup cerah muncul bersama prestasi Kesebelasan Persija di tahun baru. Dalam dua pertandingan awal tahun 1975, dua kekalahan Persija 2-3 dan 2-1 malahan mengembangkan optimisme baru bagi penggemar sepakbola. Kesebelasan Wilayah III yang berintikan Persebaya, agaknya menitipkan pesan bahwa beberapa pemain seperti Abdulkadir dan Waskito masih berguna untuk memberi perlawanan terhadap team yang mutunya setingkat lebih tinggi.

Sementara itu Kesebelasan Wilayah I yang berintikan PSMS Medan menyingkap kesuraman sepakbola di Sumatera Utara yang beberapa tahun lalu pernah memegang kemudi sepakbola nasional. Kesempatan Bekerja Usaha PSSI menampilkan Kesebelasan Wilayah sebagai ganti team nasional cukup simpatik. Terutama dengan alasan untuk mernberikan kesempatan kepada daerah ikut berkembang. Namun penyusunan kesebelasan yang cenderung berdasarkan penjatahan pemain, nampaknya hanya melahirkan kesebelasan yang timpang, kalau tidak mau dikatakan percobaan yang sia-sia. Apa yang diharapkan Kesebelasan Wilayah, tanpa persiapan yang matang, ingin memberi perlawanan bermutu terhadap kesebelasan calon juara dari negeri pemegang mahkota Kejuaraan Dunia? Satu-satunya perlindungan bagi pengurus PSSI yang baru dalam hal ini adalah kenyataan bahwa mereka belum diberikan kesempatan bekerja.

Sementara kontrak mendatangkan Offenbach telah dibikin pengurus yang lama. Akan, halnya kesebelasan Persija, ia telah melupakan orang sebentar dengan kesebelasan nasional. Juara PSSI ini yang biasanya bergaya salon berhasil memberi perlawanan menurut mutu yang disuguhkan lawan. Dalam pertandingan pertama (3 Januari), stempel baru pantas diberikan kepada team Ibukota ini. Sutan Harhara-Oyong Liza-Suaib Rizal-Iim Ibrahim di lini belakang, ternyata dapat membangun pertahanan konstruktif. Mereka mematahkan serangan lawan tidak dengan resep lama: membuang bola jauh jauh, mentackle lawan dengan kekerasan melulu. Tapi mereka imbangi dengan kombinasi yang efektif. Permainan keras dibarengi kontrol yang matang. Ketrampilan mereka mempermainkan bola tidak mati oleh kesibukan dan kegairahan yang timbul dari situasi di muka gawang Ronny Pasla.

Maka betapa enaknya ditonton bila terjadi komunikasi antara barisan pertahanan dengan lini tengah yang di percayakan pada Junaedi Abdillah, Anjasmara dan Sofyan Hadi. Persija dengan kata lain berhasil mempraktekkan bahwa lini pertahanan sebagai basis pertama didalam melakukan penyerangan. Ditambah pula dengan kegiatan lapis melapis oleh lim dan Sutan dari kedua sayap, membikin repot pertahanan lawan. Satu hal yang amat menonjol dalam membantu serangan oleh kedua back Persija. ini, ialah mereka tidak sembarang mengangkat bola ke muka gawang lawan. Mereka kini pandai membuat kombinasi pendek-rendah, sehingga memudahkan Andi Lala, Iswadi dan Sumirta di barisan depan membuat improvisasi.

Kacamata Kuda Kalau Junaedi berhasil bertindak sebagai pengatur serangan, Iswadi tak kurang lihaynya turun naik ikut melepaskan kawan-kawannya dari kepungan lawan. Sofyan Hadi dan Anjas yang biasanya mengalami kesulitan dalam benturan badan, pada kedua pertandingan tersebut tidak mengalami kesulitan berarti. Dalam tempo pertandingan yang cukup tinggi, mereka tahu kapan harus mengolah bola dan kapan melepasnya. Dan pujian patut diberikan kepada Andi Lala. Ia makin matang. “Kacamata kuda”nya kini telah ditanggalkan. Ia tidak asal menerjang bagaikan anjing pacuan lepas dari kandang. Bahkan Lala pandai memanfaatkan tangannya untuk menyontek bola dan menggenjotnya untuk melahirkan gol. Satu-satu ketimpangan yang dirasakan agaknya terjadi pada diri Sumirta. Dalam situasi yang menuntut ketenangan ia justru menampakkan kegugupan. Pantas sekali ia diganti Taufik Saleh. Titik lemah lainnya berkisar pada dan Ronny Pasla, meskipun gol kedua (pertandingan pertama) kesalahan harus dibagi rata bersama Sutan Harhara. Back kanan Persija ini entah apa sebabnya menunggu bola, membiarkan lawan, menerjang ke arah gawang.Mobilisasi Umum Harapan orang melihat Persija mengulangi permainan pendek, kombinasi cepat dan diselingi umpan-umpan tajam, tidak begitu berhasil dalam pertandingan kedua (5 Januari).

Offenbach tak segan memanfaatkan kelebihan fisik dan tekniknya. Di tengah gerimisnya hujan, mereka meningkatkan tempo permainan. Kedua sayap mereka diaktifkan dan kombinasi serangan lebih banyak dibangun dari kedua sayap, terutama sayap kanan. Penggantian Ronny oleh Raka sedikit terlambat, namun memberi kemantapan pada barisan pertahanan. Mungkin gol balasan Persija yang paling indah terjadi sewaktu Junaedi menggiring bola seorang diri ke muka gawang lawan. Tapi ketika mendadak ia dihadang back lawan dan bola nampaknya tidak sepenuhnya dikuasai, ia tidak mati akal. Ia membiarkan bola lepas dari kontrolnya tanpa mengendorkan larinya. Tapi begitu kontak fisik akan terjadi dengan back lawan, ia menjatuhkan diri. Seolah-olah ia diperlakukan curang oleh lawan. Wasit Kosasih meniup peluit – tanda hukuman penalti buat keuntungan Persija.

Konon pimpinan Offenbach menawarkan Kepada Junaedi untuk bergabung dengan klubnya. Junaedi dinilai memiliki taraf permainan prof di Eropa, terutama kecerdasan otaknya dalam mengatasi situasi meskipun ia pernah menyia-nyiakan dua kali peluang emas. Komentar orang sehabis kedua pertandingan Persija PSSI tak usah terburu-buru mengadakan mobilisasi umum untuk membentuk team lewat Pusat Pendidikan dan Latihan di Salatiga. Membina team menuntut kesabaran, makan waktu dan kejelian mata melihat bakat. Sementara ini cukuplah dengan Persija dulu.

Tempo 11 Januari 1975


Artikel Tempo 27 Januari 1973 : PERSIJA, MENCARI IKLIM BARU


Tempo 27 Januari 1973. Pengurus persija periode 1972-1974 berhasil disusun, sukahar masih di pucuk pimpinan. ada beberapa pengurus baru yang mungkin dapat merubah suasana baru persija. komposisi pengurus dianggap ideal.

TERTUNDANYA Rapat Anggota Persija sejak Nopember tahun lalu, hanya menunda terpilihnya kembali Drs Sukahar sebagai Ketua Umum Persija yang baru. Tanggal 14 Januari yang lalu sebanyak 27 dari 31 klub anggota Persija telah meluangkan 8 jam dari hari minggunya untuk menyusun Pengurus periode 1972–1974. (lihat box: Susunan Pengurus Persija 1972-1974).

Sudah barang tentu tampilnya Sukahar untuk sekian kalinya di pucuk pimpinan persepakbolaan Ibukota disambut pendukungnya dengan rasa gembira, meski tidak kurang pula yang memberi reaksi urut dada. Tetapi nampaknya ada titik pertemuan di antara mereka: kewibawaan Danjen Akabri yang berpangkat Irjen Pol ini masih dirasakan dominan untuk bisa ditinggalkan begitu saja. Ini terbukti 38 dari 68 suara sidang yang direbutnya dibandingkan dengan 27 sara yang diperoleh Drs Sukendro, tokoh baru dari Ps Mahasiswa.

Shock therapy. Adakah dengan kewibawaan melulu bond sepakbola Ibukota ini dapat direvisi? Jawabnya tersurat dan tersirat dalam komposisi kepengurusan. Di samping Sukendro sebagai ketua, Hutasoit yang selama ini dikenal sebagai penggerak Persija dikukuhkan pula sebagai ketua bersama Utarjo dari Indonesia Muda. Ditambah dengan Surojo sebagai Sekretaris, juga pendatang baru dari IM, nampaknya slok therapy sewaktu-waktu bisa terjadi untuk menyehatkan Persija. Semenara roda kompetisi yang lazim dijadikan barometer persepakbolaan Jakarta, akan dikemudikan oleh Eddie Hutabarat tokoh dari klub Oliveo yang lebih menonjol kritik-kritiknya terhadap pengurus lama dari pada mutu kesebelasannya. Kepada Pemimpin Kompetisi Persija yang baru ini publik mengharapkan produk tontonan yang leratur dan dan lumayan. Dan untuk mencapai sasaran ini agaknya Pemimpin Kompetisi tidak bisa lain kecuali mengambil inisiatif merombak sistim kompetisi sekarang berlaku.

Komisi Teknik. Sementara lembaga Komisaris yang membawahi berbagai panitia akan disusun kemudian oleh pengurus harian (terdiri dari para ketua, sekretaris, bendahara dan pemimpin kompetisi), nampaknya soal pembinaan dan penyusunan team akan merupakan masalah juga. Apakah Panitia Teknik (Komisi Teknik) akan langsung dikepalai oleh salah seorang dari 4 komisaris ataukah langsung dipimpin oleh salah seorang ketua dari Pengurus Harian. Atau mungkin juga berdiri sendiri dengan tanggung jawab melalui Komisaris atau langsung kepada salah seorang ketua. Tapi rupanya berbagai kesulitan Persija dan komposisi pengurus yang baru ini sudah dipertimbangkan matang-matang beberapa hari menjelang Rapat tanggal 14 Januari. Konon Indonesia Muda dan Ps Mahasiswa telah menyebarkan “Evaluasi Persija Tahun 1970-1972″ sebagai bahan lobby. Dalam evaluasi tersebut para anggota digugah untuk turut menanggulangi beberapa kesulitan seperti: Kompetisi brengsek klub-klub tidak dapat berkembang penonton kompetisi kurang dan keuangan klub sangat lemah. Meskipun masalah yang dikemukakan itu bukan barang baru, tapi jika dilihat enthusiasme dan hasrat Sukendro dari Ps Mahasiswa yang dikemukakan pada TEMPO menjelang rapat pemilihan, mudah diduga komposisi sekarang adalah “ideal” – paling tidak bagi mereka yang mendukung pembaharuan. lihat box: Lima Pola Sukendro.

“Biru-putih”. Dalam rapat pemilihan yang lalu itu menarik perhatian juga sikap sementara anggota yang dikenal sebagai klub berpotensi besar tapi tidak kentara ambisinya untuk mendapatkan kursi kepengurusan. Terutama UMS yang kini tengah mengalami penyegaran’ pimpinannya. Emon Sajidiman, Ketua klub “Biru putih” ini menerangkan pada TEMPO, bahwa “sebaiknya fungsi Persija tidak lebih dari kordinator yang menciptakan iklim baik buat perkembangan klub-klub anggotanya”. Apa yang dimaksudkan dengan “iklim baik” itu tidak lain adalah “penyediaan fasilitas lapangan latihan, kebebasan kepada klub-klub untuk memperkembangkan diri dan lain sebagainya”. Sebagai pimpinan perusahaan cat Warna Agung yang kini menarnpung kepengurusan UMS dan kegiatannya di Persija, Emon mengingatkan bahwa “Persija bukan super klub. Sebab tanpa klub tidak akan ada Persija”.

Adakah konsep praktis dari pimpinan yang baru untuk membantu pembinaan klub-klub? Inilah yang dituntut. Dan issue klub-sentris versus bond-sentris nampaknya akan tetap mewarnai tahun kerja pengurus 1972-1974.
***

Susunan Pengurus Persija Periode 1972-1974
Ketua Umum : Sukahar Ketua : Sukendro Ketua : F.H. Hutasoit Ketua : Utarjo Sekretaris I : Surojo Sekretaris II : Rudy Tambajong Bendahara I : S.J. Siahaja Bendahara II : D. Tuhuleru Pemimpin Kompetisi I : Eddy Hutabarat Pemimpin Kompetisi II: Sukarman Dipo


Sumber : Tempo 27 Januari 1973.


Sutan Harhara, Anak Jakarta Pilar Garuda


Di era 1970-an, pemain yang populer di indonesia selalu dari jajaran straiker, gelandang, atau kiper. Tapi ada pengecualian buat Sutan Harhara. Anak Kota (Jakarta Pusat) yang berposisi sebagai defender ini begitu spesial, hingga media massa tak mau melewatkan setiap aksinya yang memang layak jadi cerita. Wajar jika Sutan Harhara termasuk langka. Defender yang bisa dibilang sama populernya dengan penyerang kenamaan saat itu. Sebut saja Andi Lala, Anjasmara, dan Iswadi Idris.

Permainannya pun langka. Sebagai defender, dia termasuk serbabisa. Ketika dipasang sebagai libero, dia sangat jago. Saat diplot sebagai bek kanan atau kiri, dia tetap tangguh. Suka maju ke depan, tapi tak melupakan tugasnya sebagai pengawal pertahanan. Di klubnya, Persija, maupun timnas Indonesia, dia termasuk salah satu pilar. Bahkan, di era 1970-an, Sutan Harhara identik dengan jaminan kuatnya pertahanan Tim Garuda.

Hal langka lain dari seorang Sutan Harhara adalah kakinya. Sebagai pemain, dia termasuk spesialis kaki kanan (right footed). Maksudnya, kaki sebelah kanan jauh lebih baik daripada kaki kirinya. Namun, dia bisa memerankan bek kanan atau kiri dengan sama baiknya. Kemampuan istimewa itu sudah terlihat sejak dia masih muda. Begitu ditransfer dari Indonesia Muda (IM) ke Jayakarta pada 1973, dia langsung menarik perhatian banyak orang. Bahkan, pemain hebat waktu itu, Iswadi Idris, sempat memujinya. Menurut Iswadi, Sutan termasuk pemain yang berbakat.

Benar juga, saat membela Jayakarta di kompetisi Persija, dia menjadi salah satu bintang. Bahkan, dia membawa klub tersebut promosi dari Divisi II ke Divisi I, sampai akhirnya naik ke Divisi Utama.


BERGAYA TOTAL FOOTBALL

Tak kalah menarik, Sutan memiliki gaya tersendiri. Dia pengagum Total Football yang pada 1974 sangat populer diusung timnas Belanda. Meski di Indonesia waktu itu identik dengan skema 3-5-2 dan belum mengenal sepak bola yang sangat menyerang itu, Sutan berani menerapkan gaya itu dalam permainan individunya. Sebagai bek sayap, dia aktif membantu serangan. Saat timnya menekan, dia cepat berada di wilayah lawan. Bahkan tak jarang, serangan itu berawal dari akselerasinya di sektor sayap. Meski begitu, dia tak pernah lupa turun untuk memastikan pertahanan timnya aman.

Apalagi, Sutan dibekali teknik passing yang baik. Sehingga, dia banyak membuat assist buat para penyerang Indonesia. Terkadang dia juga mampu memanfaatkan peluang menjadi sebuah gol. Gaya permainannya itu yang membuat permainan Sutan jadi sangat menarik ditonton. Pertama, dia mengambil inisiatif sendiri untuk menjadi bek sayap yang aktif menyerang maupun bertahan ala total football. Kemudian, para pelatihnya menyetujui, bahkan mendukungnya.

Sutan bukan hanya bagus ketika menghadapi pemain-pemain lokal. Tapi juga teruji mampu mematikan bintang dunia. Saat Ajax Amsterdam datang ke Indonesia pada 1974, Sutan berhasil mengawal Gerth van Zanten. Bintang Ajax itu dibuat tak berkutik. "Saya waktu itu berada di kiri. Karena kesulitan melewati saya, dia tampak frustasi kemudian pindah ke kanan. Saya melawan Ajax dua kali. Saat membela Persija bermain imbang 1-1, dan saat membela timnas kalah 1-2," kenang Sutan.

Sutan juga pernah merasakan melawan timnas Denmark. Kala itu Sutan berhasil mematikan bintang mereka: Alan Simonsen. Sutan juga pernah berpengalaman melawan timnas Uruguay, Rapid Viena (Austria), dan Rosario Central (Argentina). Pengalaman itu membuatnya pemain yang begitu matang, hingga berkarier cukup lama.

Yang tak kalah penting, dia meninggalkan banyak catatan indah dalam persepakbolaan Indonesia. Meski tidak pernah membawa Indonesia juara di suatu turnamen, permainannya yang agresif dan menarik membuatnya dikenang sebagai salah satu pilar Garuda yang begitu tangguh. Di masanya, timnas Indonesia ditakuti di tingkat Asia.

Profil:
Nama Lengkap: Sutan Harhara
Lahir: Jakarta, 19 Agustus 1952
Karier Pemain:
IM Jakarta (1972), Jayakarta (1973-1980), Persija Jakarta (1972-1980), timnas Indonesia (1972-1980)
Prestasi:
Juara Suratin Cup 1972, juara Kompetisi Perserikatan 1973 & 1975 (PERSIJA), Juara PON 1974 (DKI Jakarta)

Foto:
Tim IM Jakarta era tahun 1971 saat mengikuti Turnamen Persija di Stadion Menteng, Jakarta Pusat, antara lain (kiri ke kanan) Muhadi, Iswadi, Sugianto, Arwiyanto, Slamet Pramudji, Sinyo Aliandoe, Sutan Harhara, Fajar, Partono, Sumarsono dan Sukamto.
Sutan Harhara sekarang

Sumber : http://footballsharing.blogspot.com/2010/05/sutan-harhara.html


14 January 2002

Stadion Lebak Bulus



Stadion Lebak Bulus adalah stadion di kelurahan Lebak Bulus kecamatan Cilandak, Kotamadya Jakarta Selatan, yang sebagai markas Persija Jakarta. Stadion ini terletak antara Pusat Perbelanjaan Poin Square dan Terminal Lebak Bulus. Dahulu stadion ini merupakan markas Pelita Jaya yang sekarang berada di Kabupaten Bandung. Stadion ini berkapasitas 12.500 orang. Stadion Lebak Bulus merupakan salah satu stadion bertaraf internasional di Indonesia selain Stadion Utama GBK di Jakarta. Stadion ini pun pernah menyelenggarakan Kualifikasi Piala Asia U-16 2008 Grup G.
Tetapi, Persija sekarang tidak lagi menggunakan stadion ini karena tidak sesuai standar BLI. Stadion ini memiliki kapasitas yang kurang memadai untuk menampung para pendukung Persija Jakarta, The Jakmania. Dari 12.500 kursi yang bisa dijual setiap pertandingan, 5.000 pendukung tidak bisa masuk ke stadion. [1]. Namun, Persitara pernah menggunakan stadion ini sebagai tempat penyelenggaran pertandingan kandangnya, karena stadion Persitara tidak memenuhi standar BLI.

Sumber: Wikipedia


Stadion Menteng


Stadion Menteng adalah stadion berkapasitas 10.000 penonton yang pernah ada di Jalan HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat, di lahan yang kini merupakan Taman Menteng. Awalnya adalah lapangan yang didirikan tahun 1921 dengan nama Voetbalbond Indische Omstreken Sport (Viosveld). Stadion ini dirancang oleh arsitek Belanda, F.J. Kubatz dan P.A.J. Moojen. Dalam perkembangannya stadion ini kemudian digunakan oleh Persija.

Stadion sepak bola Persija di Menteng merupakan salah satu kebanggaan warga Jakarta dan paling bersejarah, baik dalam sejarah Kota Jakarta maupun persepak bolaan di Jakarta dan Indonesia. Banyak legenda pesepak bola Indonesia lahir di sini, seperti Djamiat Kaldar, Abdul Kadir, Iswadi Idris, Anjas Asmara, atau Ronny Pattinasarani.
Sejak tahun 1921, lahan seluas 3,4 hektar yang sekarang menjadi stadion Persija tersebut sudah digunakan sebagai tempat berolahraga orang-orang Belanda. Selanjutnya, stadion tersebut digunakan untuk masyarakat umum, dan pada tahun 1961 hingga saat ini digunakan sebagai tempat bertanding dan berlatih bagi Tim Persija. Pada 1975, Surat Keputusan Gubernur Jakarta Tahun 1975 menetapkan stadion ini sebagai salah satu kawasan cagar budaya yang harus dilindungi.

Sebelum menempati stadion Menteng, Persija telah melakukan berbagai program pembinaan seperti menggelar kompetisi klub anggota, kompetisi kelompok umur, latihan tim senior dan tim berbagai jenjang usia di stadion IKADA yang sekarang dikenal sebagai Monumen Nasional (Monas). Kemudian, seiring adanya program pembangunan Monas pada tahun 1958, stadion Persija dipindahkan ke stadion Menteng yang diserahkan secara langsung oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno, pada tahun 1960.

Pengalihan Fungsi
Rencana Gubernur DKI Sutiyoso mengubah fungsi Stadion Menteng menjadi Taman Menteng berawal sejak 2004. Sekitar bulan September 2004, Dinas Pertamanan DKI Jakarta membuka sayembara desain Taman Menteng, ruang terbuka publik serba-guna. Sayembara menekankan pada tema penyelesaian masalah parkir melalui parkir bawah tanah dan ruang publik yang memiliki karakter kontemporer. Soebchardi Rahim dengan tema desain "Dual Memory" sebagai pemenangnya. Desain pemenang sayembara tentunya sesuai selera Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu menghilangkan stadion bersejarah yang sudah berumur 84 tahun itu. Sementara desain yang tetap mempertahankan keberadaan stadion dan memadukannya dengan taman interaktif yang serba-guna justru ditolak.
Sejak awal keberadaan stadion yang menjadi salah satu daerah resapan air di Jakarta Pusat itu sudah direncanakan pindah. Dari penekanan tema desain, menghadirkan parkir bawah tanah, jelas terlihat adanya upaya menghilangkan resapan air di kawasan itu.

Rencana menata Taman Menteng seperti itu pernah mencuat di saat Surjadi Soedirdja menjadi Gubernur DKI Jakarta (1992-1997). Namun, dengan pertimbangan akan merusak resapan air, Surjadi menolak rencana tersebut. Kelompok Studi Arsitektur Lanskap yang diketuai Yudi Nirwono Joga mengatakan bahwa pihaknya telah memberikan peringatan terhadap rencana memindahkan Stadion Menteng dan menjadikan taman serba guna. Namun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memedulikannya.

Kepala Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta Sarwo Handayani mengatakan bahwa perkiraan biaya pembangunan Taman Menteng senilai Rp 45 miliar semuanya ditanggung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sementara pengelolaan pascapembangunan mengandung prinsip pembiayaan pengelolaan secara mandiri dengan bentuk badan pengelola dan alternatif kedua adalah kerja sama dengan pihak swasta.
Asisten Perekonomian Sekretariat Daerah DKI Jakarta Ma’mun Amin mengatakan, masa pengelolaan Stadion Lebak Bulus oleh Grup Bakrie dengan kontrak 20 tahun akan berakhir pada tahun 2010. Untuk pengambilalihan pengelolaan di tengah jalan, Pemerintah Provinsi DKI harus membayar uang kompensasi senilai Rp 13 miliar tidak secara tunai.

Hal tersebut dilakukan karena pengelola lama masih belum membayar fasilitas sosial dan fasilitas umum kepada Pemerintah Provinsi DKI atas Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.

Rencananya di Taman Menteng nanti akan terdapat sarana olahraga futsal, badminton, jogging, taman dan monumen sepak bola, serta gedung parkir tiga lantai berkapasitas 200 mobil. Biaya yang dianggarkan untuk pembangunan Taman Menteng ini sebesar 32 miliar rupiah, dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2006.

Pada tanggal 28 April 2007, taman ini diresmikan dan dikategorikan sebagai taman publik yang memiliki fasilitas olahraga, 44 sumur resapan, dan lahan parkir.

Sumber: Wikipedia

Taman Menteng Sekarang:


M. Djamiat Dalhar


Seorang pesepakbola nasional, bernama lengkap Mohammad Djamiat Dalhar. Lahir di Yogyakarta 25 November 1927, dan meninggal 23 Maret 1979. Berasal dari keluarga guru sekolah Muhammadiyah. Ayahnya, Dalhar, adalah pemain sepakbola yang andal di kota kelahirannya, di samping tokoh Muhammadiyah. Dia mulai main
sepakbola ketika kanak-kanak, di alun-alun sekitar masjid Agung Yogyakarta. Setelah melalui masa kanak-kanaknya, bermain dengan kaki ayam, ia bergabung dengan klub HW (Hisbul Wathan) Yogya, dimana ayahnya bermain sebagai kiri dalam. Posisi itu pula yang kemudian ditempati Djamiat, termasuk ketika memperkuat tim PSSI.

Dari menonton penampilan Soedarmadji, salah satu pemain pribumi yang memperkuat Hindia Belanda dalam Piala Dunia 1938, kemudian menirukannya, Djamiat mengembangkan kemampuan dirinya. Kesungguhan itu pula yang membuat drg. Endang Witarsa, lawan mainnya saat pertandingan di Semarang, terkesan saat berjumpa kembali dengan Djamiat di Jakarta. Saat cedera lutut, ia hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Apoteker Salemba, Jakarta. Endang yang sudah praktek dokter gigi di RS Cipto Mangunkusumo
menawarkannya berobat dengan seorang dokter ahli sekaligus mencarikan donatur untuk mengobati cidera lutut yang sepertinya akan mengakhiri karir sepakbola Djamiat. Operasi itu berhasil dan ia dapat meneruskan
karir sepakbolanya dengan bergabung pada klub UMS yang dilatih Witarsa.

Karier sepak bolanya meningkat ketika pelatih PSSI asal Yogoslavia, Tony Pogacnik, kembali memanggilnya untuk memperkuat tim nasional. Djamiat mesti berjuang keras untuk menjadi pemain nasional. Ia sempat diragukan karena tubuhnya mulai gemuk, dan juga perlu perjuangan ekstra keras untuk menggantikan pemain-pemain yang sudah mapan. Namanya diabadikan sebagai Piala Kerjurnas Sepakbola Di Bawah Umur 17, yang didedikasikan atas peranannya dalam meneari bibit-bibit unggul sepakbola nasional.

Sumber: http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/400


Iswadi Idris, Si Boncel yang Brilian


Membicarakan kebesaran sejarah sepak bola Indonesia, tak bisa melupakan era akhir 1960-an sampai akhir 1970-an. Saat itu Indonesia menjadi kiblat Asia. Dan, salah satu tokoh kebesaran itu adalah Iswadi Idris. Pemain yang dijuluki Boncel karena pendek (tinggi 165 cm) ini, termasuk pemain paling berbakat yang dimiliki Indonesia.

Karena kehebatannya pula, dia termasuk pemain yang ditakuti Asia. Meski pendek, Iswadi pemain ulet dan cerdas. Dia juga serbabisa. Mengawali karier sebagai bek kanan, tapi dia juga sering dipasang sebagai gelandang kanan. Bahkan di akhir kariernya di timnas tahun 1980, dia malah diplot sebagai sweeper

Hebatnya, dia bisa menjalani semua posisi itu dengan baik. Bersama Sutjipto Suntoro, Jacob Sihasale dan Abdul Kadir, dia punya popularitas besar di Asia. Itu semua berkat permainan mereka yang memang luar biasa. Bahkan, empat sekawan ini dinilai sebagai penyerang tercepat.

Di masa itu, sepakbola Indonesia sangat dihormati Asia. Bahkan, bersama Burma (sekarang Myanmar, Red), Indonesia merupakan kekuatan utama. Apalagi, timnas Indonesia saat itu sudah biasa bertemu tim-tim besar seperti PSV Eindhoven, Santos, Fiorentina, Uruguay, Sao Paulo, Bulgaria, Jerman, Uni Soviet dan masih banyak lagi.

“Jepang, Korea Selatan dan tim Timur Tengah belum punya cerita. Kekuatan besar dimiliki Indonesia dan Burma,” jelas Iswadi dalam wawancara dengan Kompas.com di PSSI tahun lalu.

Tentang berbagai posisi yang dia jalani, Iswadi mengaku bisa menikmatinya. “Posisi yang sering saya perankan adalah sayap kanan. Saya suka menusuk ke gawang lawan. Entah sudah berapa gol yang saya ciptakan, yang jelas lebih dari 100 kalau dijumlah dari awal sampai akhir karier,” jelas Iswadi Idris yang juga pengurus PSSI itu.

Bakat yang dimiliki Iswadi memang istimewa. Dia tak hanya punya kecepatan lari, tapi juga teknik sepakbola yang baik. Selain itu, visi permainan Iswadi juga luas, ditopang kemampuannya memimpin rekan-rekannya. Wajar jika dia segera dijadikan kapten timnas sejak awal 1970-an sampai 1980.

Menjadi pemain sepakbola yang lama membela timnas dan dikenal luas sampai seantero Asia, sebenarnya tak pernah dipikirkan Iswadi. Awalnya dia malah menyukai atletik, karena punya kecepatan lari. Baru pada 1961, dia membaca temannya memperkuat Persija Junior di koran Pedoman Sport. Iswadi yang sejak umur 4 tahun tinggal di Kramat Lima, Jakarta Pusat, kemudian tertarik bermain bola. Awalnya bergabung dengan Merdeka Boys Football Association (MBFA), kemudian ke Indonesia Muda (IM).

“Kebetulan rumah saya dekat Taman Ismail Marzuki (TIM). Dulu masih berupa kebon binatang. IM berlatih di Lapangan Anjing, tempat melatih anjing. Akhirnya saya pindah ke klub itu,” katanya.

Iswadi pun semakin menikmati sepakbola, bahkan serius menggelutinya hingga menjadi salah satu legenda Indonesia. “Sepakbola hobi yang berharga. Dulu kami bermain ingin terkenal, juga demi pengabdian kepada bangsa. Jadi semangatnya berlebihan,” terangnya.

Selama kariernya sebagai pemain sepakbola, bukan sebuah gol indah yang membuat Iswadi Idris kepikiran sampai sekarang. Justru kegagalannya mencetak gol. Itu terjadi tahun 1972, ketika Indonesia menjamu Dynamo Moscow dalam partai uji coba di Senayan.

“Kiper Dynamo adalah penjaga gawang terbaik abad ini, Lev Yashin. Saya bertekad menaklukkannya agar menjadi kenangan terindah. Kesempatan ada, tapi tak saya manfaatkan. Itu penyesalan yang masih terpikir sampai sekarang,” tutur Iswadi.

Waktu itu, dia menerima umpan terobosan dari Sutjipto. Dalam keadaan bebas dengan posisi yang sama, dia biasanya menendang bola ke gawang dan hampir selalu gol. “Tapi karena karisma Lev Yashin, saya seperti tak melihat ada celah untuk mencetak gol. Saya justru mengumpankan bola ke Jacob Sihasale. Dia tak siap, karena biasanya saya menendang sendiri dan gol. Habis pertandingan, pelatih Djamiat Dahlar pun kecewa karena saya menyia-nyiakan kesempatan,” sesalnya lagi.

DIISUKAN KENA SUAP

Menjadi bintang besar memang menyenangkan. Tapi, tak selamanya selalu penuh puja-puji. Demikian juga yang dialami Iswadi. Dia dan rekan-rekannya pernah syok karena diisukan terkena suap, saat membela Indonesia di babak Pra Piala Dunia 1978 lawan Singapura.

Pada pertandingan di Singapura, 9 Maret 1977, Indonesia secara mengejutkan dikalahkan tuan rumah 0-4. Padahal Singapura tim kecil dibanding Indonesia. Sebelumnya, koran-koran Indonesia dan Singapura meniupkan isu bahwa Iswadi dan kawan-kawannya menerima suap.

“Oleh sebuah koran, saya diceriterakan menyelinap lewat jendela keluar dari hotel pemain. Katanya saya mendatangi Karpak, sebuah nightclub di Singapura, dan menerima suap. Itu tak pernah terjadi. Saya dan teman-teman tak pernah menerima suap. Sueb Rizal (pemain seangkatannya ) tahu persis saya tak ke mana-mana, karena saya sekamar dengannya. Saya kira, isu suap sengaja diembuskan pihak Singapura agar mental kami turun dan tim Indonesia kacau,” tuturnya.

Kasus itu ternyata berbuntut panjang. Seminggu kemudian, Iswadi memperkuat Persija di Piala Marahalim di Medan. “Kebetulan, sebagian besar pemain timnas Indonesia memperkuat Persija. Begitu kami masuk lapangan, langsung dlempari benda keras oleh penonton. Kami mencoba tabah meski dituduh menerima suap,” jelasnya.

Untungnya, Persija tampil memukau. Setelah mengalahkan juara bertahan dua kali (Australia), kemudian menundukkan Thailand. Para penonton Medan pun akhirnya kembali memberikan dukungan penuh, apalagi PSMS Medan sudah teringkir.

“Di final lawan Jepang, kami seperti membawa nama Indonesia. Penonton memberi dukungan penuh dan kami menang 1-0. Itu pengalaman yang menyenangkan, sekaligus sangat memuaskan. Kami bisa menunjukkan sebagai pemain yang disiplin, meski dihantam isu suap,” ceritanya.

Iswadi sendiri tampil memukau di Piala Marahalim. Tapi, itu hanya salah satu pembuktian atas kehebatannya. Selama 12 tahun kariernya di timnas (1968-1980), dia ikut membuat sepakbola Indonesia disegani di Asia. Sebutannya boleh Boncel, tapi prestasinya mengangkasa.


Data Iswadi
Nama lengkap: Iswadi Idris

Julukan: Boncel, Bos

Lahir: Banda Aceh (Indonesia), 18 Maret 1948

Posisi: Gelandang/bek kanan

No. Kostum: 13

Karier klub: MBFA (1957-1961), IM Jakarta (1961-1968, 1970-1974), Pardedetex (1968-1970), Western Suburb Australia (1974-1975), Jayakarta (1975-1981), Persija (1966-1980)

Karier timnas: 1968-1980

Prestasi: Juara TIM Cup (1968), Merdeka Games (1969), Pesta Sukan (1972), Anniversary Cup (1972), Pemain Terbaik Piala Marahalim 1973



Sumber : http://bola.kompas.com/read/2008/02/24/23304052/in.memoriam.iswadi.idris.si.boncel.yang.brilian
 


Soetjipto " Gareng " Soentoro


Sebelum bergabung dalam klub, saat berumur belasan tahun Soetjipto bermain sepak bola di jalanan di daerah Kebayoran Baru, Jakarta, pada tahun 1954. Selanjutnya, ia menjelma menjadi salah satu pemain hebat sepanjang sejarah sepak bola Indonesia hingga level asia.

Peruntungannya berubah sejak bergabung dengan IPPI Kebayoran. Namanya mulai dikenal publik ketika membela Setia Jakarta ( klub internal Persija ). Pelatih timnas junior, Djamiat Dalhar, mengetahui potensi yang dimiliki Soetjipto dan menarikanya ke timnas junior. Nama pria kelahiran 16 Juni 1941 itu kian menanjak ketika masuk dalam timnas senior yang dilatih Tony Pogacnik.

Di usianya yang baru 16 tahun  Soetjipto sudah memperkuat Persija. Gareng pun menjadi sebutan Soetjipto lantaran tubuhnya yang tak tinggi itu.

Kemampuan menjaga bola dari serangan lawan, tendangannya yang keras dan terarah dari berbagai sudut, serta kemampuan mengecoh pemain lawan menjadi contoh kelebihan Soetjipto. Penyerang kelahiran Bandung ini menyandang ban kapten timnas selama beberapa tahun.

Seperti dikutip dalam buku Sepakbola Indonesia Alat Perjuangan Bangsa, saat timnas melakukan lawatan ke beberapa negara di Eropa medio 1965, sosok Soetjipto cukup memukau publik di sana dengan mencetak gol-gol spektakuler, terutama ketika melawan Feyenord dan Werder Bremen.

Tahun 1970 Soetjipto memutuskan gantung sepatu. Setelah belajar ilmu kepelatihan di Jerman Barat (1978), Soetjipto beralih profesi menjadi pelatih. Tercatat Buana Putra Galatama, Persiba Balikpapan dan Persiraja Banda Aceh pernah dilatihnya. Soetjipto juga pernah membawa timnas junior ke Piala Dunia U-20 di Tokyo pada tahun 1979.


Sumber : BOLA, edisi 2.144, 13-14 Januari 2011


Van Der Vin, Kiper Indonesia dan Persija era 1950an-1960an


Dalam kitab Peringatan Oentoek Hindia Beland (1923) yang ditulis JMW Demont disebutkan, di Hindia (Indonesia) sudah ada semacam permainan voetbal dengan bola yang dibuat dari rotan, buah jeruk, atau buah kelapa yang dikeringkan. Indonesia sebelum Perang Dunia II (1942-1945) sudah memiliki banyak pemain besar. Sebagai kontingen Hindia Belanda pada 1938, Indonesia menjadi peserta World Cup di Prancis. Pemain Belanda yang terkenal antara lain Denkelaar, Van der Poel, Van Leeuwant, dan bekas kiper Belanda, Backhuys. pemain pribumi yang terkenal adalah Mad Dongker, Abidin, Sumo, dan Tan Hwa Kiat (ayah pemain nasional Tan Liong Houw).

Orang-orang Belanda di Indonesia pada 1918 membentuk Nederlandsch Indie Voetbal Bond (NIVB) yang membawahi bond-bond yang pemainnya didominasi warga Belanda. Anggota-anggotanya dilarang bermain dengan perkumpulan-perkumpulan sepak bola inlander. Perkataan inlander yang merupakan penghinaan, sangat menyakitkan bangsa Indonesia. Maka pada 1928 berdiri Voetbalbond Indonesish Jakatra (VIJ). VIJ yang pada 1950 menjadi Persija, memiliki lapangan sepak bola di Petojo VIJ, belakang bioskop Roxy, Jakarta Pusat. Pahlawan Nasional M Husni Thamrin turun berperan dan banyak mengeluarkan uang untuk membangun lapangan ini. VIJ bersama dengan sejumlah perkumpulan lainnya pada April 1930 memsponsori berdirinya PSSI guna menyaingi NIVB.

Pada 1932 di lapangan VIJ diselenggarakan pertandingan antara PSSI – VIJ. Bung Karno yang baru dibebaskan dari penjara Sukamiskin, Bandung, diminta melakukan tendangan kehormatan. Setelah kemerdekaan, sejumlah kesebelasan Belanda masih ada. Tapi tidak lagi bersikap diskrimatif dan sudah mengikutsertakan pemain Indonesia. Seperti Hercules yang memiliki lapangan di Deca Park (kini Monas depan MBAD). VIOS di Menteng (kini lapangan Persija), BVC di depan Balaikota, dan Oliveo. Kala itu menonjol kesebelasan yang didirikan warga Tionghoa, yaitu UMS yang memiliki lapangan di Petaksinkian (Kota) dan Chung Hwa di Tamansari, Jakarta Barat.

Yang lainnya adalah Maluku, BBSA, Maesa, Bintang Timur, dan Setia. Seperti liga Eropa, tiap kesebelasan memiliki divisi utama, divisi I, II, dan III. Pada akhir pekan (Jumat hingga Ahad) warga Ibukota dengan bergairah menyaksikan pertandingan-pertandingan yang jadwalnya padat. Di antara pemain Indo Belanda terkenal kala itu adalah Van der Vin, kiper UMS. Boelaard van Tuyl, libero VIOS yang berbadan tinggi besar seperti Maldini, pemain nasional Italia dari AC Milan. Van der Berg, bek tangguh dari BBSA sekalipun postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, tapi berbadan tegap. Pesch, kanan luar Hercules yang larinya kencang bagai kijang.

Ia sering merobek-robek pertahanan lawan dengan umpan-umpan akurat. Yang paling menonjol antara mereka Van der Vin. Kiper berbadan tinggi, tapi perawakannya tidak terlalu besar ini, cukup lincah gerakannya dalam menangkap bola-bola tinggi. Hanya sedikit kelemahannya menghadapi bola-bola bawah. Menghadapi lawan-lawan luar negeri, yang kala itu sering bertandang ke Indonesia, Van der Vin membuat para penyerang kenamaan kala itu menjadi frustasi karena gawangnya sulit ditembus. Dalam suatu pertandingan melawan suatu kesebelasan Hongaria di Ikada, ia menahan penalti pemain legendaris Puskav.

Pemain Hongaria yang saat negaranya diinvasi Uni Soviet pada 1960-an pindah ke Real Madrid, Spanyol, ketika mengeksekusi penalti berupaya menipu Van der Vin. Bola yang seolah-olah ditujukan ke arah kanan, tapi tiba-tiba dibelokkan ke arah kiri gawang, dapat ditangkap Van der Vin. Puluhan ribu penonton bertepuk tangan sambil berdiri, dan Van der Vin berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Raymond Kopa, dari Prancis kala itu juga pernah bertanding di Indonesia dan mengalami kesulitan menembus gawang Van der Vin. Kiper tampan ini berangkat ke stadion selalu menggunakan sepeda motor Harley Davidson: silih berganti memboncengkan berbagai gadis Indo. Sejumlah penyerang PSSI yang disegani kala itu adalah Djamiat Dalhar, Liong Houw, Kiat Sek (Persija), Ramang (PSM), Witarsa (Persib), Ramli dan Ramlan (PSMS).

Menjelang 1960-an tampil Sutjipto Suntoro (Persija) dan Iswadi Idris (Persija), Yacob Sihasale dan Abdulkadir (Persebaya), dan Ronny Patinasarani (PSM). Sutjipto yang namanya harum di Asia, bersama dengan Yacob pernah terpilih dalam kesebelasan All Asian Stars. Sampai awal 1970-an Indonesia masih sangat disegani di Asia. Pernah mengalahkan RR Cina 2-0, menggasak Thailand 4 – 0, menghantam Korea 3 – 0 dan PSSI yunior menekuk Iran 3 – 0.

Jepang dan Arab Saudi yang kini jadi peserta World Cup belum ada apa-apanya. Wartawan Antara Sugiarto Sriwibowo, yang meliput Olimpiade Dunia di Jepang (1964) menuturkan, ”Orang Jepang bila menonton bola sangat geli. Apalagi bila melihat para pemain menyundul bola. Mereka takut kalau kepalanya nanti pecah.”

REPUBLIKA – Minggu, 21 April 2002


Stadion Ikada


Jauh sebelum ada Senayan, Lapangan Ikada yang juga disebut Lapangan Gambir merupakan pusat kegiatan olah raga. Nama lapangan Ikada sendiri baru dikenal pada masa pendudukan Jepang, ketika negara itu menduduki Jakarta pada 1942, dan kemudian mengganti sejumlah nama tempat, lapangan dan jalan-jalan.

Dinamai Ikada, karena di lapangan ini para atlet Ibu Kota setiap hari mengadakan latihan-latihan. Tapi yang memanfaatkan lapangan itu sebenarnya bukan hanya para atlet saja. Karena di sekitar lapangan yang luas itu terdapat pula belasan lapangan sepakbola, termasuk lapangan hockey. Di lapangan ini terdapat pula tempat pacu kuda. Termasuk lapangan pacu kuda untuk satuan militer dari kavaleri. Di lapangan inilah sejumlah klub sepakbola pada tahun 1940-an dan 50-an memiliki lapangan sendiri. Seperti lapangan Hercules, VIOS dan BVC, yang merupakan kesebelasan papan atas pada kompetisi BVO (Batavia Vootball Organization) dan setelah kemerdekaan digantikan oleh Persija.

Sebelum adanya Senayan (1962), Ikada digunakan sebagai tempat latihan dan pertandingan PSSI. Di tempat inilah sebelum lapangan itu dibongkar diselenggarakan pertandingan-pertandingan sepak bola bergengsi. Termasuk mendatangkan berbagai kesebelasan luar negeri. Nama-nama pemain sepakbola seperti Ramang, Djamiat Dalhar, Tanoto (Tan Liong Houw), Kiat Sek, Van der Vin, bahkan kemudian generasi almarhum Sutjipto Suntoro dan masih puluhan nama lagi selalu bermain di sini. Iswadi Idris dan Bop Hippy yang kemudian menjadi pemain nasional dibentuk dari tempat ini melalui kompetisi-kompetisi gawang (di bawah 14 tahun).

Pada Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-II tahun 1952 di sebelah selatan lapangan ini dibangun sebuah stadion, yang juga diberi nama Stadion Ikada. Proses pembangunan itu singkat, hanya 93 hari. Namun nama itu cukup membekas sehingga nama Stadion Ikada makin dikenal.

Di lapangan inilah pada 13 September 1945 di bawah ancaman moncong meriam dan bayonet Jepang, rakyat Ibu Kota dan sekitarnya mengadakan rapat raksasa untuk lebih mempersatukan rakyat dalam membela kemerdekaan. Tapi karena menghadapi ancaman Jepang dan mencegah rakyat menjadi korban, Bung Karno hanya berpidato sangat pendek. Takut akan terjadi ‘banjir darah’, Presiden Soekarno menganjurkan agar massa rakyat segera bubar dan pulang ke tempat kediamannya masing-masing.

Almarhum Adam Malik yang hadir dalam rapat raksasa itu dalam bukunya Riwayat Proklamasi Kemerdekaan 1945 menyebutkan bahwa rapat raksasa yang diselenggarakan kelompok Menteng 31 itu tanpa persiapan sama sekali. Menurut mantan Wapres, keadaan itu berbeda ketika Jepang mempergunakan Lapangan Ikada untuk menggembleng semangat ala tiga A (Aku Anti Amerika) yang persiapannya dilakukan selama berhari-hari.

Tentu saja generasi sekarang tidak lagi mengenal lapangan Ikada. Karena tiap orang menyebutnya Lapangan Monas. Lapangan terluas di dunia ini dibangun oleh gubernur jenderal Herman William Daendels (1818). Mula-mula namanya Champ de Mars karena berbarengan dengan kekuasaan Napoleon Bonaparte yang menaklukkan Belanda. Tapi ketika Belanda berhasil merebut kembali negerinya dari Prancis, namanya jadi Koningsplein (Lapangan Raja). Sementara rakyat lebih senang menyebut Lapangan Gambir, yang namanya kini diabadikan untuk nama stasion kereta api.


REPUBLIKA – Sabtu, 22 April 2006

Foto:
Pengambilan Foto: Oct 1951
Deskripsi:
English: Aerial photograph of Ikada Stadium during the opening ceremonies of the 2nd Indonesian National Games (Pekan Olahraga Nasional) in Jakarta. The stadium was constructed for this event but was demolished following the 1962 Asian Games to make way for construction of the National Monument (Monas).
Bahasa Indonesia: Foto udara Stadion Ikada selama upacara pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON) II di Jakarta. Stadion Ikada dibangun untuk acara ini, namun dibongkar selesai Asian Games 1962 untuk membuat lahan bagi pembangunan Monumen Nasional (Monas).
Nederlands: Repronegatief. Luchtfoto van het stadion waarin de opening van de Nationale Olympische Week (Pekan Olahraga Nasional) te Djakarta plaatsvindt
Sumber Foto:
http://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Luchtfoto_van_het_stadion_waarin_de_opening_van_de_Nationale_Olympische_Week_%28Pekan_Olahraga_Nasional%29_te_Djakarta_plaatsvindt_TMnr_10017790.jpg


Tan Liong Houw "Macan Betawi"



Tan Liong Houw atau Latief Harris Tanoto (lahir di Surabaya, 26 Juli 1930; umur 79 tahun) adalah seorang pemain sepak bola terkenal Indonesia di era tahun1950-an. Ia dikenal sebagai pemain lini tengah yang perkasa dan ditakuti lawan. Posisinya sebagai gelandang kiri, mengharuskan Liong Houw bermain keras untuk merusak formasi lawan.

Pada masanya, Tan Liong Houw menjadi pujaan tim nasional dan Persija Jakarta. Bahkan para pendukung Tim Persija memberinya julukan “Macan Betawi” walaupun Ia berasal dari etnis Tionghoa.

Tan Liong Houw tumbuh remaja di Jakarta. Nama “naga” (liong) dan “harimau” (hauw) yang diberikan orangtuanya adalah dua binatang lambang keperkasaan dalam mitologi etnis Tionghoa. Ibunya, Ong Giok Tjiam, semula tidak mengizinkannya menjadi pemain sepak bola. Adiknya, Tan Liong Pha, yang sempat bermain untuk Persib Bandung Junior terpaksa berhenti karena larangan sang ibu. Berbeda dengan adiknya, Liong Houw tetap bermain sepak bola secara sembunyi-sembunyi. Sang ibu memergokinya dan kemudian mengirimnya ke Semarang agar tak bermain sepak bola lagi.

Namun nasib baik justru mempertemukannya dengan orang-orang dari klub Tjung Hwa (sekarang PS Tunas Jaya), perkumpulan olah raga warga keturunan Tionghoa kala itu. Orangtuanya kemudian meminta Jaya, perkumpulan olah raga warga keturunan Tionghoa kala itu. Orangtuanya kemudian meminta Liong Houw kembali ke Jakarta. Sang ayah akhirnya mengijinkan bermain bola setelah menyaksikan kegigihan anaknya mengasah bakat. Liong Houw kemudian dipanggil masuk ke tim nasional dan prestasinya semakin bersinar.

Tanoto, demikian ia juga biasa dipanggil, tidak menggantungkan penghidupan dari bermain sepak bola. Bermain sepak bola baginya benar-benar karena hobi dan mengabdi kepada negara. Pada waktu itu sebagian dari pemain Tim Sepakbola Nasional Indonesia berasal dari keturunan Tionghoa, seperti Thio Him Tjiang, Kwee Kiat Sek, Phoa Sian Liong, Lie Kiang An, Chris Ong, dan Harry Tjong.

Tudingan bahwa para pemain keturunan Tionghoa akan bermain setengah hati dan kendur semangatnya bila Indonesia bertemu dengan pemain dari Cina sempat membuat Tanoto dan kawan-kawan sakit hati. Pada dekade 1950-an Indonesia sempat dua kali bertemu dengan Republik Rakyat Cina, yaitu pada kualifikasi Olimpiade 1956 dan kualifikasi Piala Dunia 1958. Faktanya, Indonesia selalu sukses melewati para pemain Cina.

Tanoto dan kawan-kawan berhasil masuk perempat final Olimpiade 1956 di Australia. Pada ajang inilah cerita legendaris itu tertoreh. Tim Merah Putih berhasil menahan Uni Soviet 0-0 sebelum akhirnya kalah 0-4 pada partai ulang hari berikutnya. Tanoto bermain dengan “keringat darah”. Kaus kakinya sampai robek di tengah pertandingan karena termakan permainan keras lawan.

Setelah Asian Games 1962 di Jakarta, Tan Liong Houw memutuskan pensiun. Hidupnya kemudian lebih banyak dihabiskan bersama istrinya, Loe Lan Eng atau sekarang lebih akrab dipanggil Hilda Lanawati, dan empat anaknya: Wahyu Tanoto, Budhi Tanoto, Indah Nurjani, dan Harijanto Tanoto. Dua anaknya, Wahyu Tanoto dan Budhi Tanoto, meneruskan bakat sang ayah. Keduanya sempat menjadi pemain nasional pada tahun 1980-an.

Tan Liong Houw bermain untuk Tim Merah Putih selama duabelas tahun sejak 1950. Ia memperkuat tim nasional dalam empat Asian Games dan banyak kejuaraan regional. Salah satunya menjuarai Merdeka Games 1961 di Malaysia setelah di babak final mengalahkan tuan rumah 2-1. Ia masih memberikan sumbangan pikiran untuk perkembangan sepak bola nasional dengan menjadi anggota Dewan Penasihat PSSI periode 1999-2003.


Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Tan_Liong_Houw


13 January 2002

Artikel Tempo 05/I, 03 April 1971: Japut & UMS Skor Kaca Mata


05/I 03 April 1971. Majalah Tempo. Pertandingan Japut vs UMS dalam rangka kompetisi Persija 1968/1970 berakhir dengan score 0-0. diputuskan Japut sebagai juara karena sistem kompetisi menggunakan sistem jumlah kemenangan.

INILAH hari-harinja Sang Djuara dinobatkan. Djaput alias Djakarta Putra pada hari Minggu 21 Maret 1971, kembali diadu — kali ini menghadapi UMS alias Union Makes Strength. Hari itu merupakan hari jang penghabisan dari serentetan Kompetisi Persidja 1968/1970. Di stadion Persidja, Menteng, Djakarta, 5.000 penonton ibukota datang menjaksikannja. Bagi Djakarta Putera sendiri, hari itu menang atau kalah tak ada bedanja — ia tetap akan keluar sebagai djuara karena sistim kompetisi menggunakan sistim djumlah kemenangan. Tapi bagi UMS kekalahan berarti turun ketempat ketiga, menang atau paling tidak seri berarti tempat kedua. Maka setidaknja anak-anak Petak Senkian itu sudah bertekad bulat untuk tidak kalah. Target minimal mereka seri. Tekad itu begitu keras barangkali hingga tidak djarang sempritan wasit Ridwan Mas jang memimpin pertandingan tersebut dianggap berat sebelah. Berkali- kali penonton meneriaki sementara anak buah UMS protes, hingga Dokter gigi Endang Witarsa, pelatih mereka terpaksa turun kelapangan untuk menenangkan.

Maka ketika tiga prit pandjang ditiupkan Ridwan Mas pada pungkasan pertandingan, dipapan skor penonton melihat gambar katjamata. Orang bilang gambar itu tandanja skor 0-0. Maka kedudukan kedua kesebelasan seperti jang terdapat dalam neratja jang semula (lihat TEMPO, 20 Maret 1971). Djaput dalam 30 kali pertandingan mengumpulkan 54 bidji kemenangan, sedang UMS runner-upnja memperoleh 44 bidji kemenangan. Adapun Kesebelasan Bintang Timur dan Kesebelasan Sinar Remadja mengalami degradasi kedevisi II.

Sjahdan dalam musim kompetisi jang berikutnja, bulan April ini, suasana akan bertambah semarak. Diduga rekor recette sebesar Rp. 115 ribu sekian jang didapat dalam penutupan kompetisi 21 Maret itu akan bisa bertambah banjak. Apa resepnja? Konon karena pemain-pemain seperti Sutjipto, Judo Hadianto (dari Kes. Setia) dan Iswadi (dari Kes. Indonesia Muda) akan turun djuga kegelanggang kompetisi Persidja itu. Laporan mengenai djalannja pertandingan jang ber-”skor katjamata” kali ini disadjikan dalam bentuk reportase foto.

Sumber: BolaIndo Wordpress


12 January 2002

Artikel Tempo 03/I 20 Maret 1971: Japut Sang Juara


Majalah Tempo. 03/I 20 Maret 1971 .Jakarta Putra atau Japut adalah kesebelasan sepak bola yang populer di tahun 60-an. kini dikenal dengan nama Persija. Japut, kesebelasan UMS merupakan saingan terberat pada setiap kompetisi.

UNTUK mengikuti djedjak Persidja dari tahun ketahun tidak semudah naik lift. Apalagi untuk menjebutkan perkumpulan-perkumpulan jang pernah menang dalam kompetisi jang pernah diadakan oleh Persatuan Sepakbola Indonesia Djakarta itu. Winarto, petugas Sekretariat Persidja akan selalu merasa disudutkan bila kepadanja ditanjakan daftar djuara-djuara Persidja dari tahun 50-an. Demikian pula kolega sekantornja jang bernama Rahim hanja bisa menggelengkan kepalanja seraja melahirkan kata-kata: “Saja tidak ingat. Kalau memang perlu terpaksa harus ditjari diarsip dulu”. Jang dimaksudkannja tidak lain terpaksa harus membuka “Kamar Hantu”, ruang arsip Sekretariat Persidja jang terletak dikolong tribune. Dan rupanja untuk membuka ruangan itu, bagi orang-orang seperti Rahim mengandung arti keramat. Kalau kedua orang jang tergolong tua di Persidja itu tak mampu membantu, apa lagi orang-orang baru disana. Namun penjelidikan tentang soal tersebut tidak boleh begitu sadja dihentikan hanja karena ruang arsip telah mendjadi “Kamar Hantu”. Wartawan Olahraga TEMPO, achirnja menemukan djuga apa jang ditjarinja selama ini.

Di Sekretariat Persatuan Sepakbola Djakarta Putera jang menumpang dikediaman Anwar Dado, managernja, nama-nama kesebelasan-kesebelasan jang pernah mendjadi Djuara masih terukir rapi pada piala-piala perak setinggi 60 sentimeter jang ada disana. Pada Piala Bergilir tertera tjatatan kesebelasan-kesebelasan jang pemah mendjuarai Persidja sedjak 18 tahun jang lalu.

Mojang. Meskipun Djakarta Putera baru populer di tahun 60–an tapi perkumpulan ini sudah mempunjai tradisi jang tjukup tua. Nenek mojangnja adalah PS Ster, alias “Setia Tuhu Enggoni Rukun” jang pertamakali diketuai oleh R. Soekardi bersama R. Soerodjo, Surjadi (MOS), Thamrin, (BSVC) jang kemudian bersama-sama mendirikan Voetbalbond Indonesia Jacarta atau VIJ di bulan Nopember 1928. Nama jang sulit dibatja itu kini disederhanakan dengan nama PERSIDJA.

Pada djaman jang disebut “normal”, atau seperti kata sedjarah “zaman Pendudukan Djepang”, para pengasuh Ster sama tertjetjer. Kebanjakan meninggalkan Betawi jang mengakibatkan muntjulnja angkatan muda untuk seterusnja meremadjakan Ster mendjadi PS Bhakti. Pada tahun 1957 Bhakti nikah dengan PS HBS. Dari perkawinan itu lahirlah PS Djakarta Putera jang kini diketuai oleh Brigdjen Zamzam. Sedang pengasuh sehari-hari dipertjajakan kepada Anwar Dado dan Bakir Gordy, bekas pemain-pemain PSSI. Sudah tentu untuk bisa merebut kedjuaraan berkali-kali tidak tjukup dengan mereka sadja. Karena itu nama-nama lain seperti Ali Aldjami, Erwin Baharuddin dan Anhar, sesepuh-sesepuh Djakarta Putera djuga, akan selalu digandengkan dengan perkumpulan itu.

Jahut. Dalam suatu wawantjara Dado berkata: “Latihan keras, semangat kekeluargaan diantara pemain dan djaminan jang tjukup, adalah faktor utama untuk mendjadi Djuara”. Karena itulah Dado selalu mensuply anak buahnja dengan katjang idjo. Bukan hanja itu sadja, di samping susu murni setiap hari, pada pemain-pemainnja ia memberi honor jang tjukup tinggi. Konon sekitar Rp 15.000 ditambah djaminan pengobatan dan uang saku. Di sini letak rahasia bahwa Dado tidak kelihatan chawatir dengan muntjulnja Djaja Karta dikangauw persepakbolaan. Bahkan dia mendukung dengan tjatatan: tak ada pentjomotan pemain-pemain dari perkumpulan lain jang dapat melemahkan lawan sekompetisi. Memang mengherankan bahwa dia djustru mengchawatirkan UMS seperti katanja: “Saingan jang terberat masih UMS”. Alasannja hanjalah karena perkumpulan jang bernama Inggeris itu mempunjai lapangan sendiri, punja coach jang sudah barang tentu maut, dan punja asrama jang konon jahut.

Lantas bagaimana mereka mempersiapkan diri menghadapi UMS? Ali Sani, gelandang DJAPUT jang selama ini dilatih sebagai “kapal pendjeladjah” untuk areal tengah di setiap lapangan pertandingan, diharapkan bisa bergaja “ortodoks dengan posisi dimuka keempat pemain belakang”, kata Dado ditengah lapangan latihan Petodjo. Agaknja Dado bermaksud mematahkan kekuatan UMS pada poros tengah kesebelasan itu. “Tapi itu tergantung keadaan lawan tentunja”, udjarnja pula.

Sjahdad penggemar Sepakbola di Ibukota kurang puas dengan kemenangan demi kemenangan jang pernah ditjapai DJAPUT. Mereka beranggapan bahwa kemenangan itu telah mereka renggutkan dengan segala matjam tjara, dimana main kasar termasuk salah satu tjaranja. Penilaian sematjam itu mungkin dibajangi oleh ingatan bagaimana Dado ditahun 1968 dalam sebuah kompetisi pernah melompati pagar dan menggebuk wasit Rompas, ketika jang disebut belakangan ini dianggap mengambil keputusan setjara tidak fair terhadap anak asuhannja. Dalam tjatatan masih tertera bahwa karena lompatan pagar dan gebukan itu, Dado achirnja dischors setahun oleh Persidja. Bagaikan orang main dadu, mungkin ketika itu jang keluar tjuma angka sial jang bernilai satu. Terhadap kesan djelek itu Dado mengemukakan sematjam alasan bahwa “itu sudah lampau”. Ia tidak melihat lagi bahwa kekasaran bisa membawa kemenangan, karena kini “kesebelasan jang baik djustru jang akan menang”. Dadu-dadu jang dilemparkan Dado kini berangka enam.

Sumber: https://bolaindo.wordpress.com/2009/01/28/japut-sang-juara/


10 January 2002

Percobaan Di Menteng


TANPA Anwar Ujang, Yuswardi dan obon, asuhan Djamiat tidak bergaya pola semestinya. Ditodong pertanyaan reporter Herry Komar dan TEMPO, apakah ia “puas atau tidak” akan prestasi Kesebelasan PSSI pada turnamen Ulang Tahun ke-S0 MAESA, Djamiat memilih tutup mulut plus secuil senyum.

Tapi belasan ribu publik Menteng tidak peduli. Seolah telah teken kontrak: PSSI harus menang — sejak prestasinya yang gemilang lawan Kesebelasan Piala Dunia Uruguay (TEMP), 4 Mei 1974) — mereka menjadi tidak seramah senyum Djamiat dalam mengkomentari kemenangan dan kekalahan PSSI: 2-0 dari Persebaya dan 0-1 dari Persija. Lebih-lebih publik Menteng memalingkan nasib PSSI pada pertandingan tanggal 21 Mei lawan Kesebelasan PD Australia. Maka ketika Djamiat dipojokkan oleh seorang wartawan lainnya, “apa pasangan tadi masih bersifat cobacoba dan bagaimana kalau berhadapan dengan Kesebelasan Australia nanti”, Djamiat selincah Kadir menemukan peluang untuk meloloskan diri. “Tidak saya tidak coba-coba. Saya cuma punya pemain itu”, ujarnya tak acuh pada penyambung lidah publik Menteng yang terkenal “kejam”. “Target saya Anniversary Cup bukan lawan Australia. Lesu Darah Siapapun lawan PSSI berikutnya pertunjukan PSSI pada turnamen tanggal 10-12 Mei itu tidak memberikan jaminan menentu. Berhadapan dengan Persebaya yang muda-muda, PSSI yang lebih berpengalaman nampak dihinggapi “lesu darah”. Tempo permainan mengendor, kurang patut disuguhkan sebagai hiburan apalagi berbicara mengenai prestasi.

Ketika lawan Persija, gelandang Sutan Harhara yang beroperasi di kawasan Nobon makin jelas salah posisi. Kedua poroshalang Widodo dan Oyong Liza tidak didukung oleh kedua back Rusdi Bahalwan dan Nyoman Witarsa. Sementara di barisan depan switch-switch Kadir dan Waskito macet. Ronny Patti dan Junaedi Abdillah sebagai penghubung dan pengumpan kadang-kadang terganggu oleh keh adiran Sutan di tengah lapangan. Tapi yang paling mengkuatirkan tentu saja kematangan team yang dipersiapkan untuk turnamen Piala HUT Jakarta ini. Bermain di lapangan Persija yang lebih sempit dari Stadion Utama, pandangan merekapun turut sempit pula. Mereka tidak mempermainkan bola di lapangan tengah untuk menciptakan daerah bebas di sekitar kawasan penalti. Mereka justru memancing skrimase di muka gawang yang telah padat oleh pagar betis, meskipun utuhnya gawang Persija adalah berkat ketrampilan Ronny Pasla dalam melaksanakan tugasnya. Tanpa ketiga pemain PSSI itu agaknya Djamiat masih harus repot dengan cadangan di sana-sini. Ronny Patti bermain cantik untuk dirinya, tapi tidak efektif bagi kawan. Ia terlampau banyak mengolah bola yang seharusnya sudah dilepas secara sederhana. Ia terlampau sibuk dengan improvisasi, padahal situasi tidak menuntutnya. Kadir kembali luput membuat tendangan penalti. Di barisan belakang kelemahan nampak pada Nyoman. Bermain bola tidak cukup dengan modal galak. Mengapa Djamiat misalnya tidak berani memakai Iim Ibrahim dari Persija untuk posisi ini? Banyak masih pertanyaan yang perlu dijawab Djamiat di lapangan hijau pada pertandingan dengan Australia — lepas dari kalah atau menang.

Sementara itu Persija yang tengah mempersiapkan diri untuk turnamen Piala Suratin dan Piala Suharto tidak kurang pula menampilkan dua pemain muka harapan. Pedro di kiri luar dan Jeffry di tengah. Terutama Jeffry memiliki terobosan mengejutkan dan langsung membahayakan gawang lawan. Ia memiliki tipe algojo dan pengolahan bolanya pada usia juniornya sekarang, nampak lebih matan dari ayahnya Wimpie di tahun 50-an. Kedua penyerang Persija ini menuntut perhatian lebih serius dari Persija maupun PSSI.

Tempo 18 Mei 1974


Dollar Buat Persija


DEBUT Persija dalam turnamen bayaran di Hongkong tidak mengecewakan. Dalam pertandingan 4-besar di hari Natal 1974 anak-anak Jakarta berhasil mengantongi 7 ribu dollar (AS) dan gelar runner-up.

Memukul kesebelasan tuan-rumah Seiko 1-0 di hari pertama, Persija dipaksa tunduk di final oleh kesebelasan Korea Selatan 1-3, yang sebelumnya menundukkan South China 3-0. Final antara Korea dan Indonesia itu digambarkan South, China Morning Post sebagai pertandingan yang enak ditonton. Kedua kesebelasan memperlihatkan ciri-cirinya. Fihak Korea berhasil merenggut juara, tapi fihak Indonesia dengan permainan yang cepat dan cerdik, menawan – hati 8.482 penonton Stadion Hongkong.

Sayang sekali, kata koran itu selanjutnya, dalam pertandingan secantik ttu terpaksa diakhiri dengan fihak yang kalah. Kerja Mesin Persija bermain dengan terbuka dan mendemonstrasikan ketrampilan dan keahliannya mengolah bola. Sementara Korea Selatan yang teknis sedikit di bawah lawannya mengimbangi dengan sistim pertahanan ketat dan semangat-juang yang tak pernah kendor sepanfang 90 menit. Kerjasama Indonesia di lapangan tengah amat menyenangkan publik Hongkong.

Pertukaran tempat dan kombinasi membuka serangan selicin kerja mesin. Tapi begitu barisan depan yang dipimpin Junaedi Abdillah dengan ujung tombak Iswadi mendekati daerah gawang, mereka dihadang oleh barisan pertahanan Korea yang bermain mati-matian. Gol pertama Korea terjadi lewat tendangan bebas tak langsung, akibat pelanggaran poroshalang. Oyong Liza dua menit setelah wasit Jim Thorpe membuka pertandingan. Tapi setelah permainan berlangsung 15-menit jalan pertandingan praktis dikuasai pemain-pemain Jakarta. Dua kali Anjasasmara dan Iswadi di babak kedua masing-masing nyaris membobolkan gawang lawan, sementara serangan lawan dua kali berhasil memaksa Raka memungut bola dari dalam jala.

Pada menit-menit terakhir Sofyan Hadi sempat membuat goal balasan. Buat penggemar sepakbola Hongkong, turnamen hari Natal itu merupakan hiburan tahun baru yang bermutu. Kalau ada fihak yang kalah – kata penonton Hongkong – maka fihak tuan rumahlah yang menderita. Bukan saja mereka (Seiko dan South China) tersisihkan, tapi mereka nampaknya harus menombok untuk menutup biaya turnamen.

Tempo 04 Januari 1975


Artikel Tempo 23 November 1974 : UJUNG PANDANG GONDOL PIALA SURATIN 74


TURNAMEN Empat Besar memperebutkan Piala Suharto tampaknya lebih menarik dari pertandingan internasional manapun.

Nafsu keempat kesebelasan untuk merebut piala juga selalu merangsang pejabat daerah yang bersangkutan untuk lebih giat memompa semangat anak-anak mereka. “Anak-anak Jakarta harus lebih fanatik”, kata Ali Sadikin beberapa hari menjelang turnamen. Sementara ketiga kesebelasan lain melalui masing-masing tokoh mereka juga sesumbar menambah ramai perhitungan di atas kertas sebelum bola digulirkan. “Kami datang dengan pemain muda untuk mencari pengalaman”, ujar Daeng Patompo rendah hati.

Paling menarik tentulah tekad ketiga kesebelasan daerah yang sama berprinsip: biar tak bawa piala asal jangan kalah dari Persija. Regu ibukota punya persiapan paling matang dibanding ketiga saingannya. Iswadi spesial didatangkan dari Australia. Namun kehadirannya memperkuat Persija disangsikan status keamatirannya oleh para team manager dalam technical meeting. “Cuma Ketua Umum yang tahu bagaimana statusnya”, begitu jawaban yang diterima Zulkarnaen, coach PSMS dalam pertemuan teknis. Bunyi peluit pertama mempertemukan PSMS lawan Persija. Hasilnya: Rp 14.095.750. Dua tahun yang lalu dalam acara yang sama, Persija unggul 1–0 dari lawannya ini. Musuh bebuyutan. Kebesaran Terompah “Kami akan main keras, sebab ini ciri khas Medan”, ujar coach Zulkarnaen. “Kami akan layani mau main cara apa saja”, jawab Aliandoe. Namun disaksikan 80.000 penonton, Persija yang konon nyali bermain kerasnya disangsikan orang (paling tidak oleh lawan mereka), sore itu menghidangkan siasat semacam “Ali kontra Foreman”.

Satu siasat yang di luar perhitungan lawannya. Dimotori Iswadi rmereka tampil dengan permainan tabah. Suaeb Rizal dan Salmon Nasution dipercaya untuk melayani kekerasan lawan. Trio lswadi Andi Lala – Sumirta melibatkan Yuswardi dan Anwar Ujang dalam mara bahaya berkepanjangan, begitu Sudarso meniup peluitnya. Lini penghubung yang diperkuat oleh Junaedi Abdillah bekas pemain Persebaya juga tambah efektif membantu penyerangan. Namun sekalipun di bawah form terbaiknya Imrisan depan Persija tanpa Risdianto cukup membuat repot Pariman. Veteran-veteran PSMS Sarman, Tumsila dan Wibisono juga tak kalah gertak. Mereka menekan Ronny Pasla yang sore itu patut dicatat ketrampilannya. Cuma pemain nasional Nobon tidak tampak permainannya, kecuali hasrat besarnya untuk menghadang lawan dengan cara kasar. Jakarta akhirnya menang 2-0.

Di hari kedua dan untuk seterusnya, minat penggemar sepakbola ternyata digiring ke arah lain. Bukan Jakarta dan Medan lagi yang disorot, sebuah team lain tampak menonjol: PSM Ujung Pandang, si Kuda Hitam. “Modal kami hanya semangat tinggi dengan tujuh pemain dari team Suratin”, ujar Ilyas Haddade coach PSM Ujung Pandang, “bisa menang sekali saja kami sudah bangga”. Namun bukan sekali. Persebaya dan Persija ditundukkan masing-masing 2-1 .

Kemenangan atas Persebaya sekaligus menurunkan gambaran keampuhan regu Jawa Timur yang mulanya ditonjolkan akan merebut piala kali ini. Inilah mula surprise turnamen. Dipimpin oleh kapten Ronny Pattinasarani yang tenang dan taktis PSM betul-betul boleh membanggakan hasil peremajaan mereka. Barisan belakang yang dijaga kwartet Nur Amir, Mallawing dan dua old track Hafid dan Akhmad Jauhari. Ini tembok beton bagi penyerang Persebaya dan Persija. Sebaliknya penyerang kawakan seperti Jacob, Waskito dan Kadir bagaikan kebesaran terompah kandas di muka kiper Saleh Bahang. “Kecil-kecil kelihatannya, tapi eh bola saya hilang terus”, ujar Jacob berkelakar mengomentari pemin-pemain muda PSM keesokan harinya.

Tampaknya kepindahan Junaedi cukup berarti buat kesebelasan yang punya prinsip “terlalu riskan menggabungkan pemain muda dengan senioren”, seperti kata Joko Sutopo sebelumnya. Makan Kaki Lawan Ketika Persija pun dikalahkan mereka, lengkaplah sudah harapan orang akan melihat wajah satu kebelasan baru menggantikan mereka yang selama ini merajai setiap turnamen PSSI. Hanya dengan modal fanatik mereka tampak siap mempertaruhkan segalanya demi pertarungan sore itu. Dimotori kembali oleh Ronny, PSM benar-benar telah menyulitkan anak-anak Aliandoe. Ketiga pemain depan Sumirta – Andi Lala. Iswadi tak banyak bisa bergerak. Kembali terasa ketakhadiran Risdianto, sekalipun Iswadi tidak jarang kembali di posnya yang asli. “Cuma Ris yang bisa turun naik, jadi tinggal Andi Lala yang harus kita jaga”, begitu petunjuk Ronny pada rekan-rekannya.

Kepada Iswadi yang dianggap bisa membuka daerah buat Lala, disodorkan Akhmad Jauhari yang telah melakukan tugasnya dengan baik. “Semua bola dari Junaedi, jadi dia juga harus diperhatikan”. Permainan meningkat keras ketika jarum jam menunjuk saat-saat pertandingan makin larut. Bahkan Ronny yang dikenal paling tidak suka main keras tampak ikut ambil-bagian dalam lakon “makan kaki lawan”. Bahkan ia mendapat kartu kuning. “Memang saya terpaksa untuk kasih semangat pada kawan-kawan”, komentarnya sesudah pertandingan. Taktik yang keliru ini memang membuahkan hasil bagi Persija ketika PSM mendapat hukuman penalti. Gol balasan untuk Persija 2-1. Sesudah dibungai dengan kericuhan dan Abdi Tunggal dikeluarkan wasit, barisan penyerang berseragam merah-merah ini hampir sepenuhnya terpancing untuk bermain keras. Begitulah sampai bubaran.

Malam harinya suasana Wisma Hasta diliputi kegembiraan. “Mereka rasakan taktik yang pernah mereka lakukan pada kami dalam kejuaraan PSSI yang lalu”, komentar Kadir atas siasat membuang-buang bola di saat sudah menang yang dilakukan PSM pada lawannya. Jamiat dan Witarsa tampak berseloroh dengan mereka. Yang jelas spekulasi jadi kacau. Harapan PSM makin besar, tetapi Persijapun masih punya kans asal Medan mampu memukul PSM keesokan harinya. Sepucuk surat “selamat bertanding” dari Ronny Pasla eks PSMS kepada Sarman dkk disobek-sobek. Dan nyatanya PSMS memang cuma mampu menahan PSM dengan draw. Sekalipun disangsikan orang keseriusan mereka. PSM toh sudah menjadi juara.


Sumber : Tempo 23 November 1974


TOP.ORG Topsites The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di Dadaku

FACEBOOK

Find us..

PhotobucketPhotobucketPhotobucket

BANNER

Photobucket Photobucket Photobucket

ADS

 

SETAN OREN Copyright © 2010 SetanOren.blogspot.com is Designed by SetanOren