BERGANTI tahun bersama Kickers Offenbach, PSSI menampilkan Kesebelasan Wilayah III, Wilayah I dan Persija untuk melayani sang tamu.
Offenbach yang pernah mencukur Kesebelasan Nasional 5-1 yang melawat ke Jerman Barat tahun lalu, mengalahkan Wilayah III dan Wilayah I masing-masing 4-2 dan 5-0. Dua pertandingan di buntut tahun 1974 itu pas betul terjadinya. Seolah peristiwa itu ingin mengingatkan betapa terbengkalai pembinaan sepakbola di daerah. Tapi bersama terbenamnya pesimisme di tahun yang lalu, harapan cukup cerah muncul bersama prestasi Kesebelasan Persija di tahun baru. Dalam dua pertandingan awal tahun 1975, dua kekalahan Persija 2-3 dan 2-1 malahan mengembangkan optimisme baru bagi penggemar sepakbola. Kesebelasan Wilayah III yang berintikan Persebaya, agaknya menitipkan pesan bahwa beberapa pemain seperti Abdulkadir dan Waskito masih berguna untuk memberi perlawanan terhadap team yang mutunya setingkat lebih tinggi.
Sementara itu Kesebelasan Wilayah I yang berintikan PSMS Medan menyingkap kesuraman sepakbola di Sumatera Utara yang beberapa tahun lalu pernah memegang kemudi sepakbola nasional. Kesempatan Bekerja Usaha PSSI menampilkan Kesebelasan Wilayah sebagai ganti team nasional cukup simpatik. Terutama dengan alasan untuk mernberikan kesempatan kepada daerah ikut berkembang. Namun penyusunan kesebelasan yang cenderung berdasarkan penjatahan pemain, nampaknya hanya melahirkan kesebelasan yang timpang, kalau tidak mau dikatakan percobaan yang sia-sia. Apa yang diharapkan Kesebelasan Wilayah, tanpa persiapan yang matang, ingin memberi perlawanan bermutu terhadap kesebelasan calon juara dari negeri pemegang mahkota Kejuaraan Dunia? Satu-satunya perlindungan bagi pengurus PSSI yang baru dalam hal ini adalah kenyataan bahwa mereka belum diberikan kesempatan bekerja.
Sementara kontrak mendatangkan Offenbach telah dibikin pengurus yang lama. Akan, halnya kesebelasan Persija, ia telah melupakan orang sebentar dengan kesebelasan nasional. Juara PSSI ini yang biasanya bergaya salon berhasil memberi perlawanan menurut mutu yang disuguhkan lawan. Dalam pertandingan pertama (3 Januari), stempel baru pantas diberikan kepada team Ibukota ini. Sutan Harhara-Oyong Liza-Suaib Rizal-Iim Ibrahim di lini belakang, ternyata dapat membangun pertahanan konstruktif. Mereka mematahkan serangan lawan tidak dengan resep lama: membuang bola jauh jauh, mentackle lawan dengan kekerasan melulu. Tapi mereka imbangi dengan kombinasi yang efektif. Permainan keras dibarengi kontrol yang matang. Ketrampilan mereka mempermainkan bola tidak mati oleh kesibukan dan kegairahan yang timbul dari situasi di muka gawang Ronny Pasla.
Maka betapa enaknya ditonton bila terjadi komunikasi antara barisan pertahanan dengan lini tengah yang di percayakan pada Junaedi Abdillah, Anjasmara dan Sofyan Hadi. Persija dengan kata lain berhasil mempraktekkan bahwa lini pertahanan sebagai basis pertama didalam melakukan penyerangan. Ditambah pula dengan kegiatan lapis melapis oleh lim dan Sutan dari kedua sayap, membikin repot pertahanan lawan. Satu hal yang amat menonjol dalam membantu serangan oleh kedua back Persija. ini, ialah mereka tidak sembarang mengangkat bola ke muka gawang lawan. Mereka kini pandai membuat kombinasi pendek-rendah, sehingga memudahkan Andi Lala, Iswadi dan Sumirta di barisan depan membuat improvisasi.
Kacamata Kuda Kalau Junaedi berhasil bertindak sebagai pengatur serangan, Iswadi tak kurang lihaynya turun naik ikut melepaskan kawan-kawannya dari kepungan lawan. Sofyan Hadi dan Anjas yang biasanya mengalami kesulitan dalam benturan badan, pada kedua pertandingan tersebut tidak mengalami kesulitan berarti. Dalam tempo pertandingan yang cukup tinggi, mereka tahu kapan harus mengolah bola dan kapan melepasnya. Dan pujian patut diberikan kepada Andi Lala. Ia makin matang. “Kacamata kuda”nya kini telah ditanggalkan. Ia tidak asal menerjang bagaikan anjing pacuan lepas dari kandang. Bahkan Lala pandai memanfaatkan tangannya untuk menyontek bola dan menggenjotnya untuk melahirkan gol. Satu-satu ketimpangan yang dirasakan agaknya terjadi pada diri Sumirta. Dalam situasi yang menuntut ketenangan ia justru menampakkan kegugupan. Pantas sekali ia diganti Taufik Saleh. Titik lemah lainnya berkisar pada dan Ronny Pasla, meskipun gol kedua (pertandingan pertama) kesalahan harus dibagi rata bersama Sutan Harhara. Back kanan Persija ini entah apa sebabnya menunggu bola, membiarkan lawan, menerjang ke arah gawang.Mobilisasi Umum Harapan orang melihat Persija mengulangi permainan pendek, kombinasi cepat dan diselingi umpan-umpan tajam, tidak begitu berhasil dalam pertandingan kedua (5 Januari).
Offenbach tak segan memanfaatkan kelebihan fisik dan tekniknya. Di tengah gerimisnya hujan, mereka meningkatkan tempo permainan. Kedua sayap mereka diaktifkan dan kombinasi serangan lebih banyak dibangun dari kedua sayap, terutama sayap kanan. Penggantian Ronny oleh Raka sedikit terlambat, namun memberi kemantapan pada barisan pertahanan. Mungkin gol balasan Persija yang paling indah terjadi sewaktu Junaedi menggiring bola seorang diri ke muka gawang lawan. Tapi ketika mendadak ia dihadang back lawan dan bola nampaknya tidak sepenuhnya dikuasai, ia tidak mati akal. Ia membiarkan bola lepas dari kontrolnya tanpa mengendorkan larinya. Tapi begitu kontak fisik akan terjadi dengan back lawan, ia menjatuhkan diri. Seolah-olah ia diperlakukan curang oleh lawan. Wasit Kosasih meniup peluit – tanda hukuman penalti buat keuntungan Persija.
Konon pimpinan Offenbach menawarkan Kepada Junaedi untuk bergabung dengan klubnya. Junaedi dinilai memiliki taraf permainan prof di Eropa, terutama kecerdasan otaknya dalam mengatasi situasi meskipun ia pernah menyia-nyiakan dua kali peluang emas. Komentar orang sehabis kedua pertandingan Persija PSSI tak usah terburu-buru mengadakan mobilisasi umum untuk membentuk team lewat Pusat Pendidikan dan Latihan di Salatiga. Membina team menuntut kesabaran, makan waktu dan kejelian mata melihat bakat. Sementara ini cukuplah dengan Persija dulu.
Tempo 11 Januari 1975
Offenbach yang pernah mencukur Kesebelasan Nasional 5-1 yang melawat ke Jerman Barat tahun lalu, mengalahkan Wilayah III dan Wilayah I masing-masing 4-2 dan 5-0. Dua pertandingan di buntut tahun 1974 itu pas betul terjadinya. Seolah peristiwa itu ingin mengingatkan betapa terbengkalai pembinaan sepakbola di daerah. Tapi bersama terbenamnya pesimisme di tahun yang lalu, harapan cukup cerah muncul bersama prestasi Kesebelasan Persija di tahun baru. Dalam dua pertandingan awal tahun 1975, dua kekalahan Persija 2-3 dan 2-1 malahan mengembangkan optimisme baru bagi penggemar sepakbola. Kesebelasan Wilayah III yang berintikan Persebaya, agaknya menitipkan pesan bahwa beberapa pemain seperti Abdulkadir dan Waskito masih berguna untuk memberi perlawanan terhadap team yang mutunya setingkat lebih tinggi.
Sementara itu Kesebelasan Wilayah I yang berintikan PSMS Medan menyingkap kesuraman sepakbola di Sumatera Utara yang beberapa tahun lalu pernah memegang kemudi sepakbola nasional. Kesempatan Bekerja Usaha PSSI menampilkan Kesebelasan Wilayah sebagai ganti team nasional cukup simpatik. Terutama dengan alasan untuk mernberikan kesempatan kepada daerah ikut berkembang. Namun penyusunan kesebelasan yang cenderung berdasarkan penjatahan pemain, nampaknya hanya melahirkan kesebelasan yang timpang, kalau tidak mau dikatakan percobaan yang sia-sia. Apa yang diharapkan Kesebelasan Wilayah, tanpa persiapan yang matang, ingin memberi perlawanan bermutu terhadap kesebelasan calon juara dari negeri pemegang mahkota Kejuaraan Dunia? Satu-satunya perlindungan bagi pengurus PSSI yang baru dalam hal ini adalah kenyataan bahwa mereka belum diberikan kesempatan bekerja.
Sementara kontrak mendatangkan Offenbach telah dibikin pengurus yang lama. Akan, halnya kesebelasan Persija, ia telah melupakan orang sebentar dengan kesebelasan nasional. Juara PSSI ini yang biasanya bergaya salon berhasil memberi perlawanan menurut mutu yang disuguhkan lawan. Dalam pertandingan pertama (3 Januari), stempel baru pantas diberikan kepada team Ibukota ini. Sutan Harhara-Oyong Liza-Suaib Rizal-Iim Ibrahim di lini belakang, ternyata dapat membangun pertahanan konstruktif. Mereka mematahkan serangan lawan tidak dengan resep lama: membuang bola jauh jauh, mentackle lawan dengan kekerasan melulu. Tapi mereka imbangi dengan kombinasi yang efektif. Permainan keras dibarengi kontrol yang matang. Ketrampilan mereka mempermainkan bola tidak mati oleh kesibukan dan kegairahan yang timbul dari situasi di muka gawang Ronny Pasla.
Maka betapa enaknya ditonton bila terjadi komunikasi antara barisan pertahanan dengan lini tengah yang di percayakan pada Junaedi Abdillah, Anjasmara dan Sofyan Hadi. Persija dengan kata lain berhasil mempraktekkan bahwa lini pertahanan sebagai basis pertama didalam melakukan penyerangan. Ditambah pula dengan kegiatan lapis melapis oleh lim dan Sutan dari kedua sayap, membikin repot pertahanan lawan. Satu hal yang amat menonjol dalam membantu serangan oleh kedua back Persija. ini, ialah mereka tidak sembarang mengangkat bola ke muka gawang lawan. Mereka kini pandai membuat kombinasi pendek-rendah, sehingga memudahkan Andi Lala, Iswadi dan Sumirta di barisan depan membuat improvisasi.
Kacamata Kuda Kalau Junaedi berhasil bertindak sebagai pengatur serangan, Iswadi tak kurang lihaynya turun naik ikut melepaskan kawan-kawannya dari kepungan lawan. Sofyan Hadi dan Anjas yang biasanya mengalami kesulitan dalam benturan badan, pada kedua pertandingan tersebut tidak mengalami kesulitan berarti. Dalam tempo pertandingan yang cukup tinggi, mereka tahu kapan harus mengolah bola dan kapan melepasnya. Dan pujian patut diberikan kepada Andi Lala. Ia makin matang. “Kacamata kuda”nya kini telah ditanggalkan. Ia tidak asal menerjang bagaikan anjing pacuan lepas dari kandang. Bahkan Lala pandai memanfaatkan tangannya untuk menyontek bola dan menggenjotnya untuk melahirkan gol. Satu-satu ketimpangan yang dirasakan agaknya terjadi pada diri Sumirta. Dalam situasi yang menuntut ketenangan ia justru menampakkan kegugupan. Pantas sekali ia diganti Taufik Saleh. Titik lemah lainnya berkisar pada dan Ronny Pasla, meskipun gol kedua (pertandingan pertama) kesalahan harus dibagi rata bersama Sutan Harhara. Back kanan Persija ini entah apa sebabnya menunggu bola, membiarkan lawan, menerjang ke arah gawang.Mobilisasi Umum Harapan orang melihat Persija mengulangi permainan pendek, kombinasi cepat dan diselingi umpan-umpan tajam, tidak begitu berhasil dalam pertandingan kedua (5 Januari).
Offenbach tak segan memanfaatkan kelebihan fisik dan tekniknya. Di tengah gerimisnya hujan, mereka meningkatkan tempo permainan. Kedua sayap mereka diaktifkan dan kombinasi serangan lebih banyak dibangun dari kedua sayap, terutama sayap kanan. Penggantian Ronny oleh Raka sedikit terlambat, namun memberi kemantapan pada barisan pertahanan. Mungkin gol balasan Persija yang paling indah terjadi sewaktu Junaedi menggiring bola seorang diri ke muka gawang lawan. Tapi ketika mendadak ia dihadang back lawan dan bola nampaknya tidak sepenuhnya dikuasai, ia tidak mati akal. Ia membiarkan bola lepas dari kontrolnya tanpa mengendorkan larinya. Tapi begitu kontak fisik akan terjadi dengan back lawan, ia menjatuhkan diri. Seolah-olah ia diperlakukan curang oleh lawan. Wasit Kosasih meniup peluit – tanda hukuman penalti buat keuntungan Persija.
Konon pimpinan Offenbach menawarkan Kepada Junaedi untuk bergabung dengan klubnya. Junaedi dinilai memiliki taraf permainan prof di Eropa, terutama kecerdasan otaknya dalam mengatasi situasi meskipun ia pernah menyia-nyiakan dua kali peluang emas. Komentar orang sehabis kedua pertandingan Persija PSSI tak usah terburu-buru mengadakan mobilisasi umum untuk membentuk team lewat Pusat Pendidikan dan Latihan di Salatiga. Membina team menuntut kesabaran, makan waktu dan kejelian mata melihat bakat. Sementara ini cukuplah dengan Persija dulu.
Tempo 11 Januari 1975
0 comments:
Post a Comment