Photobucket
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

15 December 2003

Article


Beruntunglah Sepakbola Indonesia


Pasukan pemerintah El Salvador memasuki perbatasan Honduras karena sepakbola. Seorang suami menembak mati istrinya karena sepakbola di Bucharest. Seorang pria memuncratkan isi kepalanya dengan sebuah peluru karena sepakbola di Buenos Aires. Ribuan supporter Liverpool membantai tifosi Juventus atas nama sepakbola di Brussels. Di jalan raya Istambul, pendukung Galatasaray memukuli dan menikam mati dua pendukung Leeds United karena sepakbola. Di alun-alun kota Roma, seorang wanita memamerkan buah dada dan kemaluannya karena sepakbola. Sementara itu di Jakarta, seorang pria menceraikan istrinya juga karena sepakbola.

Kaget? Jangan dulu karena misteri sepakbola juga merambah jauh sampai ke Indonesia. Jangan dulu bangga jika sudah merasa menjadi penggila sepakbola. Berkoleksi segala pernik sepakbola, menonton seluruh pertandingan yang disiarkan TV swasta, rajin datang ke acara nonton bareng di kafe-kafe. Apalagi kalau cuma rutin main sepakbola baik di lapangan killer maupun senayan, itu bukan jaminan bahwa Anda adalah seorang maniak sepakbola.
Anda boleh saja merasa sudah gila pada sepakbola ketika seluruh nama pemain di liga terkemuka Eropa dan Amerika Latin terhafal di luar kepala. Wallpaper dan screensaver di komputer laptop bergambarkan bintang-bintang dunia, atau mungkin Anda selalu membawa sepatu bola kemana-mana..

Tapi, pernahkah Anda kabur dari meeting, mengundurkan diri dari kantor atau memutuskan pacar Anda karena sepakbola. Kalau komentar Anda adalah “Hanya gara-gara sepakbola kok bisa jadi kayak begitu?” terhadap contoh soal diatas, maka Anda belum layak dikatakan sebagai seorang penggila sepakbola

“Sepakbola adalah hidup, jadi supporter itu juga pilihan hidup,” ujar Heru Joko seorang pendukung fanatik klub Persib Bandung. Ia tentu saja tidak mencoba untuk meniru Bill Shankly yang menganggap “Sepakbola adalah lebih dari sekedar hidup!” Baginya menjadi pendukung sebuah tim sepakbola berarti juga menyerahkan diri, jiwa dan raga pada kebesaran tim itu.
“Saya dan teman-teman mah kecil, Persib yang besar…tanpa Persib kami bukan apa-apa,” ujar pria berkacamata yang mengaku hanya mengenal satu warna dalam hidupnya, Biru. Warna khas Persib Bandung.

“Kalau Persib menang, Bandung berubah jadi Europe!” jelas Ayi Beutik, pentolan supporter Persib Bandung lainnya. Lelaki berusia 38 tahun ini mengaku meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang staf ahli pemetaan untuk menjadi pendukung Persib Bandung. “Hampir seluruh belahan Indonesia pernah saya datangi, tapi setiap mendengar Persib main, rasanya hati ini maunya pulang aja mendukung Persib,” jelas Beutik yang mengenakan kaos kaki sepakbola warna biru di hari pernikahannya.

Totalitas pria bernama asli Suparman ini semakin dibuktikan dengan pemberian nama Jayalah Persibku pada putra pertamanya. “Nama itu sebetulnya doa buat Persib, waktu itu khan Persib nyaris degradasi, rasanya mau nangis ngeliat kondisi Persib saat itu,” di saat Jayalah Persibku lahir, Persib memang tengah berada di zona degradasi Liga Indonesia.

Beutik pun tidak main-main pada nama putranya. Buatnya, putranya yang biasa ia panggil Jaya boleh memilih apapun yang ia mau “Mau jadi artis, mau jadi Presiden, mau jadi penjahat, pokoknya terserah, yang penting dia harus dukung Persib!!!” tegas pria ini tentang putra pertamanya yang sudah mampu melafalkan “Wasit Goblog!!!” di usianya yang ke 8 bulan.
Irlan adalah contoh lain kegilaan pada sepakbola nasional. Aktifis Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengaku telah menyerahkan hidupnya di jalan agama. “Tapi seperti rasul, jalan agama bukan berarti harus melupakan dunia. Artinya gue gak mungkin meninggalkan Persija,” tukas pria berusia 30 tahun yang mengaku hanya mempunya tiga hal penting dalam hidupnya “PKS, Persija dan Manchester United!!!”

Pria keturunan Arab ini adalah salah satu contoh supporter fanatik dari klub Persija Jakarta. Kehidupan sehari-harinya dijalani sebagai seorang pegawai di restoran waralaba asing. Ia pun dikenal sebagai seorang da’i sekaligus kader dari PKS yang dikenal sebagai partai islam berbasiskan pengajian-pengajian. Tapi jika sudah turun di stadion, Irlan bagai berubah total. “Kalau tim kita main, gak ada supporter lawan boleh rese’!” tegasnya.

Lalu apa jadinya jika ada yang rese’? Tentu saja Irlan akan berdiri paling depan menghantam lawan, jika perlu sampai terkapar kelojotan. Jika Anda ingat peristiwa pelemparan terhadap bus sebuah tim lawan di pengkolan Pasar Jum’at, pria inilah yang berdiri paling depan dengan batu terbesar. Tentu saja pria ini—dengan bentuk fisiknya yang khas—cukup populer baik di kalangan aparat, preman stadion maupun kelompok supporter lawan.

“Sepakbola selalu memberikan harapan, maka dari itu kami mencintai sepakbola karena kami mencintai harapan,” ujar Ferry Indrasjarief pentolan kelompok supporter Persija. Jalan hidup pria yang akan berusia 39 tahun ini sangat jelas, jika ‘Dangdut is the music of my country’ maka baginya ‘Persija is the music of my heart!’ Apapun yang dilakukan, klub kesayangannya tersebut selalu mendapat tempat paling utama.

Ia terhitung orang yang cukup gila di kantornya. Bayangkan saja, jika sebuah pertandingan tandang di Tangerang akan dimulai pada pukul 15.30 maka ia sudah keluar dari kantor pada pukul 10.00. Bahkan jika pertandingan kandang yang akan dilakoni, paling lambat pukul 14.30 ia sudah melarikan diri dari kantornya, padahal di kantor tersebut ia cuma seorang pegawai bukan komisaris.

“Kalau harus milih antara kerja atau Persija, gue akan pilih Persija,” tegas pria yang enggan mengaku lahir di Bandung ini. Baginya, hidup selalu akan menemukan jalannya, dan baginya Persija adalah salah satu jalan itu. Bagaimana dengan pacar? Pria yang masih betah melajang ini (itu pun menurutnya karena kesibukannya mendukung Persija-red) menyatakan agak ragu, walau tanpa didesak ia menegaskan “Masak sih gue gak bisa ajak cewek gue ke stadion nonton Persija?”

Mungkin lucu melihat kenyataan betapa fanatiknya banyak orang Indonesia pada sepakbola nasional. Fanatisme luar biasa yang bahkan sampai rela mengorbankan jiwa dan raga “Bagimu Persib jiwa raga kami!!!” adalah semboyan partisan pendukung Persib. Bagi mereka, fanatisme pada Persib adalah harga mati “Siapapun yang menghadang laju Persib harus dibasmi, supporter lawan yang menghadang juga harus dihalau,” ujar Beutik. Ucapan tersebut pun mendapat amin yang positif dari banyak kelompok supporter lain.

Anda tidak usah heran jika melihat pendukung sebuah tim berkelahi dengan pendukung tim lawannya. Bagi mereka sepakbola bukan cuma olahraga, sepakbola adalah soal harga diri yang harus dijaga, rasa cinta pada tanah kelahiran yang musti dijunjung atau sikap patriotisme yang harus dibusungkan ketika menghadapi lawan.

Jangan sinis dan menganggap gila dulu pada orang-orang ini. Jika Anda lebih sering menyaksikan AC Milan, Real Madrid atau Manchester United tanpa pernah menyaksikan tim dari negeri sendiri (atau bahkan tim nasional Indonesia). Anda bisa saja merasa lucu melihat fenomena ini. Tanpa prestasi internasional, tanpa permainan yang memikat atau tanpa daya tarik seorang David Beckham, tapi kok mau-maunya fanatik pada sebuah tim.

Jika pun Anda punya cukup nyali untuk menyatakan langsung pada mereka bahwa kegilaan mereka pada sepakbola nasional bersifat ganjil, jangan pula melakukannya. Anda bisa saja malah dibilang aneh, karena di Eropa, Amerika Latin atau negara manapun dimana sepakbola berada, kegilaan dan fanatisme memiliki banyak sekali kesamaan.

Lebih baik Anda tanyakan pada Robbie Williams kenapa mereka bisa begitu mencintai klub Port Vale yang entah tahun berapa terakhir kali bisa berlaga di Divisi Utama. Atau Noel dan Liam Gallagher yang sangat mencintai Manchester City yang jelas saja kalah mentereng dibanding dengan tetangganya Manchester United. Jawabannya hanya ada di dalam hati, tak peduli tim kesayangan tak mampu berprestasi internasional, fanatisme dan kecintaan pada klub takkan pernah lekang.

“Persija sampai gue mati,” ujar Ferry. Atau tetap mempertaruhkan sejumlah uang pada Persib walau lawan yang akan dihadapi adalah AC Milan di musim panas 1994.

Ditulis oleh : Andibachtiar Yusuf
Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=100523796624

Bad news is good news


Judul itu sepertinya telah mewakili apa yang saya rasakan akhir-akhir ini. Sebuah kondisi dimana berita bombastis serta fantastis selalu memiliki daya jual tinggi di mata media tanpa harus memikirkan kebenaran atau efek dari pemberitaan tersebut. Kata media berasal dari bahasa latin Medius yang secara harafiah berarti tengah, perantara, atau pengantar. Jadi media pada dasarnya bertugas memberitakan apapun kejadian yang terjadi di tengah masyarakat.

        Oleh sebab itu, saya pun menyadari bahwa media tak selamanya memberitakan hal-hal yang baik, ada kalanya memberitakan kebobrokan suatu entitas, termasuk pemberitaan mengenai The Jak belakangan ini. Tak ada yang salah menurut saya dengan prinsip tersebut, asalkan media dalam mewartakan berita selalu dalam koridor objektif dan berimbang, karena pemberitaan apapun isinya dapat digunakan sebagai bahan evaluasi entitas tersebut.

         Permasalahan timbul ketika media hanya melihat sisi jual dari suatu berita tanpa peduli kebenaran dari berita tersebut. Hendaknya dalam melakukan pemberitan sebuah media melakukan klarifikasi dan validasi sumber berita, bukan sekedar bombastis yang diharapkan dapat dijual semata. Berita mengenai kerusuhan sepakbola di Jakarta hampir sehari penuh mewarnai layar kaca, anehnya saya menemui berita dengan dua visualisasi yang sama tetapi dengan narasi yang berbeda. Media seharusnya menjadi simbiosis mutualisme bagi perkembangan sepakbola lokal dan bukan menjadi pihak yang menambah buruk stigma masyarakat umum terhadap sepakbola dalam negeri. Ketika memang ada berita positif maka beritakanlah tanpa narasi yang “under estimate” dan ketika ada berita negatif, maka saya pun ikhlas diberitakan asal berimbang dan benar. Media selalu berucap tak ada asap jika tak ada api, mengapa disaat mereka memberitakan keburukan sepakbola lokal tidak mencoba  mencari penyebab suatu permasalahan timbul? Ataupun sekedar mencari fakta pembanding lain di lapangan? Mungkin mereka tak peduli dengan asal “api” tersebut, karena hanya memperdulikan si “asap” yang menjual. Jika demikian memang sudah menjadi tabiat kebanyakan dari kita, konsisten dengan inkonsistensinya. Entahlah.

      Ya, prinsip hanyalah prinsip. Semua kembali pada implementasi di lapangan dan pragmatisme media. Konsep-konsep media objektif dan berimbang hanya menjadi tagline semata dan tak berguna karena dikalahkan dengan sebuah hal, menjual! Kemudian pihak supporterlah yang selalu menjadi sasaran tembak semua pihak yang mengaku cinta dengan sepakbola lokal, dengan demikian supporter menjadi pihak yang paling pantas disalahkan atas kebobrokan sepakbola negeri ini, semakin buruklah citra supporter negeri ini. Sepertinya media harus merubah spektrumnya, dari menjual-tidak menjual menjadi benar-salah dengan tetap berpegang teguh pada objektifitas serta kebenaran berita yang dapat dipertanggungjawabkan. Saya pun tak mau mencontoh hooligans atau ultras dengan  menganggap media itu musuh supporter, karena saya berasumsi kemajuan sepakbola lokal haruslah didukung oleh semua pihak, termasuk media. Akan tetapi jika faktanya media selalu tidak objektif dalam melakukan pemberitaan, mungkin kita bisa mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Green street elite, musuh supporter adalah media dan polisi! 


Ditulis oleh : Veranto
Sumber : http://jakartafirm.webs.com/apps/blog/show/3377129-bad-news-is-good-news

Catatan buat orang-orang yang lemah yang tinggal di Jakarta


Di tengah keriuhan malam itu, saya menerima sms bertubi-tubi. Intinya mereka mengeluhkan kemacetan karena adanya sepakbola, bahkan beberapa sms menyebut entitas saya dengan kata binatang. Begitu pula di berbagai thread kaskus. Awalnya saya tidak terlalu merisaukan beberapa keluhan teman atau mereka di kaskus, tetapi rasanya saya juga perlu sedikit memberi penjelasan untuk mereka.

Jakarta Macet setiap seusai pertandingan Persija. Untuk masalah ini perlu kita cermati dengan seksama. Setiap pertandingan Persija dengan lawan tim-tim gurem minimal dihadiri 40 ribuan penonton (meskipun gak semua masuk stadion). Terlebih lagi ketika lawan tim-tim besar maka anda dapat bayangkan berapa banyak yang hadir. Puluhan ribu orang tersebut memarkirkan kendaraannya di sekitari Hall Basket. Ratusan Bis serta ribuan sepeda motor memadati jalanan yang tidak terlalu lebar. Anda dapat membayangkan tentunya bagaimana jika semua kendaraan secara serentak keluar dari areal GBK. Apa ini bentuk "cuci tangan" kami? Apa ini bentuk pembelaan kami dengan menyebutkan "Jakarta, tanpa adanya pertandingan Persija sekali pun sudah macet"? Terserah kalian mau berkomentar binatang sekalipun, tapi memang faktanya seperti itu. Tentunya kemacetan akan semakin parah jika bertanding di Lebak bulus, sebagai informasi GBK memiliki banyak pintu dan akses jalan keluar GBK, tetapi kemacetan tetap terjadi. Bagaimana dengan areal Lebak Bulus yang jalannya satu arah? Pikirkan sendiri.

Dari berbagai keluh kesah mereka, ada yang berkomentar kenapa di jalan raya tingkah laku para suporter ini gak tertib dan sering berbuat onar?. Untuk satu hal ini saya sepakat dengan mereka. Rasanya tak perlu ada pembelaan untuk hal ini karena saya pun mengakui jika mereka yang umumnya remaja sering berbuat ulah ketika di jalan raya. Rasanya organisasi juga sudah berusaha untuk meminimalisasi hal tersebut dengan menempatkan korlap di beberapa sudut jalan raya, meskipun hasilnya belum maksimal. Mereka yang ugal-ugalan saya pastikan adalah mereka yang tidak terkoodinir, bagi mereka yang memiliki koodinator wilayah (korwil) umumnya sudah terkoordinasi dengan baik, jalan menuju dan pulang dengan tertib. Sekali lagi ini bukan bentuk "cuci tangan" kami.

Inilah Jakarta dengan segala kompleksitasnya. Sebagian dari kami adalah orang-orang termarjinalkan dari kehidupan urban ibukota. Jangalah kalian memaki hanya karena terjebak kemacetan menuju pusat perbelanjaan ternama untuk sekedar mencari hiburan. Mereka juga butuh hiburan walau hanya dengan menonton pertandingan sepakbola, tiap lembar rupiah berguna bagi mereka tuk sekedar membeli tiket pertandingan, melakukan caci maki tanpa dasar hanya menunjukan kalian sebagai invidualis dengan egois tingkat tinggi! Karena secara tidak sadar kalian telah memproklamirkan diri sebagai pihak yang satu-satunya pantas mendapatkan hiburan di Jakarta. Bagi mereka inilah bentuk aktualisasi mereka sebagai anak Jakarta. Mereka sama sekali tak memiliki kebanggaan di ibukota selain menonton sebuah pertandingan, karena bagi mereka hanya dengan menonton pertandingan sepakbola mereka merasa kebanggaan sebagai orang Jakarta. Terpenting ini adalah HIBURAN!

Sebelum menilai sesuatu hendaknya dilihat dari berbagai sudut pandang dan komprehensif, secara tidak sadar kalian akan lebih hina daripada yang kalian anggap hina. Persija, The Jak, dan kemacetan adalah bagian dari Jakarta. Suka tidak suka terimalah. Terakhir, tak peduli serasis ataupun sehina apapun kalian menghina entitas kami, kami akan tetap bernyanyi "We'll keep 'oranje' flags flying high"

*gak bermaksud menyinggung siapapun. Maaf jika ada kata yang tak berkenan .

Ditulis oleh : Vikry Pristian
Sumber : http://www.facebook.com/home.php?#!/notes/vikry-pristian/catetan-buat-orang-orang-yang-lemah-tinggal-di-jakarta/455033650767


Jejaring Sosial, Simbol, dan Realita Identitas


"Ketika Jakarta macet atau banjir, kalian akan menghujatnya. Tapi apa Jakarta pernah minta imbalan atas kesempatan dan kehidupan yang dia beri kepadamu???" Hmmm itu isi status fb Saye beberapa waktu lalu. Status itu, mewakili pembelaan Saye, waktu Ibukota Jakarta dipastikan lumpuh secara lalu lintas. Dari status tersebut ada jawaban yang sangat logis ; "Pernah, jkt memnta mrka teriak u persija/pergi,tapi mrka juga mengabaikannya" kata2 ajaib dari seorang saudara sePersija.Ok, cukup ye..."status2"nye (maklum fb). Sekarang kite bahas dari penafsiran saye terhadap jawaban status tersebut.. Yah, status lagi.. he8x. Kite bahas yang ntu aje. Klo soal banjir, ntar malah lebih buyar pembahasannye :) 

PERSIJA dan JAKARTA..dua kata yang membuat kita terharu bangga, dan membuat kita rela membelanya ketika ada yang mencibir. Contoh terdekat adalah waktu hari Rabu (03112010) dimana saat itu PERSIJA maen di GBK. Sore itu, puluhan ribu Pecinta PERSIJA dateng ke GBK. Diwaktu yang bersamaan juga, jutaan ummat JAKARTA selesai beraktifitas. Nah, kebayang dah kisruhnye.. Bukan rahasia lagi, klo tiap PERSIJA maen di kandang ada aje yang ngeluh2 soal macet. Padahal, tanpa PERSIJA maenpun JAKARTA udah macet di jam2 segitu.“Perhatian” dari kalangan luar supporter makin vocal. Di salah satu jejaring digital, sempet ada perdebatan sengit.. Saye inget lagi soal notes yang dibikin Anto Jakampus UI, yang dulu pernah bahas soal2 beginian. Trus Saye bandingin lagi sama masukan2 dari Gerry. Yang dapet buahnye begini :

Wajar, klo pada akhirnya kita membela diri. Saat para hedonis2 muda telat dateng ke “date’nye gara2 macet. Emang JAKARTA dibangun buat mereka doank?! Klo diibaratin nama jalan ni, mereka ibarat Jalan Sudirman – Thamrin. Dan kita ibarat gang2 kecil seperti Jalan Jaksa dan Bendungan Hilir. Beda kasta beda kelas. Tapi apa mereka berhak menjudge kita seenaknya?! Ga lah!! Biar kate beda jalan, tetep aje adanye di JAKARTA.

Di Jakarta ada Patung Selamat Datang. Tapi blum pernah dibangun Patung Selamat Tinggal. Penafsiran Saye si, Jakarta selalu membuka pintunya untuk semua orang yang berminat menghampirinya. Tanpa pernah bermaksud mengusirnya. Ayo2, coba dah kite pikirin rame2 kita semua punya kewajiban menjaga JAKARTA biar lebih keren lagi. Setelah kita sama2 pulang dari GBK, jaga juga kenyamanan para pengguna jalan. Terlebih lagi buat para pekerja wanita yang terkesan takut klo liat rombongan oren – oren. Mungkin omongan2 ini sedikit mengulang dari banyaknya ilmu yang kita denger dari Bung Ferry.

Nah, intinye ni..yu’ bangun sama2 image positif soal nonton PERSIJA. Biar makin banyak lagi orang yang mau dateng ke GBK, atau bahkan tour tandang. Desain ulang lagi image2 yang udah terlanjur nempel. Klo kite adem2 aje, ntu media2 sotoy juga ga bakal aneh2 lagi ngeberitain soal The Jak dan PERSIJA’nya. Buktiin klo kite ga beda2in orang. Di teras stadion semua sama. Seperti Istiqlal yang bertetangga dengan Katedral.

Jika kita menjadi burung, tentu kicauan terindah yang akan kita dendangkan. Walau hanya 140 karakter.Terima kasih kawan, telah memberi prespektif berbeda dari sempitnya pandangan Saye selama ini..Saudara Se-PERSIJA

"Mereka boleh hedon, mereka boleh highclass, mereka boleh suka sama klub luar, tapi kita harus rangkul karena mereka Jakartan dan tinggal di jakarta, sama kyk bahasan yg td gang jaksa ma gang benhill.." Gerry D'lounge

Dirulis oleh: Saif Alsalist
Sumber : http://www.facebook.com/home.php?#!/notes/saif-atsalist/jejaring-sosial-simbol-dan-realita-identitas/460849017481

Related Articles :


Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 comments:

Post a Comment

TOP.ORG Topsites The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di Dadaku

FACEBOOK

Find us..

PhotobucketPhotobucketPhotobucket

BANNER

Photobucket Photobucket Photobucket

ADS

 

SETAN OREN Copyright © 2010 SetanOren.blogspot.com is Designed by SetanOren