Kesebelasan Persija berhasil mengalahkan kesebelasan Persebaya (1-0) dalam grandfinal kejuaraan nasional PSSI. Persebaya bermain kasar dan nyaris terjadi baku hantam. Wasit Djuremi tak berwibawa.
DI bawah tatapan mata gubernur Moh. Noer, kesebelasan Persebaya berbuat segala-galanya untuk merebut kembali gelar juara yang pernah direnggutnya 21 tahun yang lalu — termasuk bermain keras. Namun lebih dari 100.000 perionton Stadion Utama menyaksikan pula bahwa permainan keras yang menjurus kotor itu justru merupakan racun yang membunuh peluang juara Persebaya. Malam itu, Selasa tanggal 12 Desember, praktis merupakan peristiwa ulangan dua tahun yang lalu (6 Oktober 1971) di antara kedua kesebelasan dalam memperebutkan Kejuaraan Nasional PSSI. Dan dengan posisi tanpa kompromi yang kurang menguntungkan Persija, semula para pecandu bola dihadapkan pada teka-teki, taktik dan strategi apa yang akan dikembangkan oleh kedua kesebelasan pada saat-saat yang menentukan itu.
Daerah-tak-bertuan. Tapi rupanya untuk menjawab teka-teki itu, sepak-terjang Rusdi Bahalwan, back kiri Persebaya, memegang kuncinya. Menit-menit pertama ia berpapasan dengan Iswadi kanan-luar Persija, dan cara Rusdi membendung terobosan Kapten Persija ini, segera menjawab dengan komplit apa yang akan terjadi pada sisa-sisa pertandingan yang masih panjang. Ditambah pula dengan Wasit Djuremi yang berkwalifikasi kelas FIFA — tapi agaknya lupa membawa kartu merah — jelas pimpinannya ini memberi inspirasi bagi Persija untuk melayani tantangan lawan di kandang sendiri. Begitulah jadinya: ketika Sutan Harhara berusaha menghadang Kadir dengan cara Rusdi, arena pertandingan nyaris berubah menjadi daerah tak bertuan. Pada menit ke-15 dan selama 6 menit: petugas keamanan, wartawan-foto, ofisial dan cadangan kedua kesebelasan turut sibuk di dalam adegan yang disensu TVRI. Nampaknya siasat Persebaya unluk menteror mental anak-anak Ibukota dengan kekerasan fisik paling tidak untuk sementara berhasil. Ketika Iswadi dan Jacob Sihasale setuju untuk melanjutkan permainan, Anjasmara, Sofyan Hadi dan Sumirta nampaknya mulai ciut nyalinya. Sementara Iswadi lebih berhati-hati, meski dalam duel ia toh memperlihatkan kelihayannya untuk mengelak ataupun menggasak kaki lawan. Di dalam kemelut keras lawan keras tanpa wibawa wasit Djuremi, hanya etika pemain dan disiplin penonton agaknya yang menyelamatkan final ini dari situasi yang memburuk.
Bermuka-kartu. “Sayang Persija terpancing oleh permainan kasar Persebaya”, kata Sarman Panggabean pada TEMPO sewaktu turun minum. “Mereka sebenarnya jangan meladeni”, tambah Ronny Paslah yang turut menyaksikan di pinggir lapangan. Kedua pemain edan itu bukan tidak tahu bahwa resep mujarab yang biasa dipaka PSMS mengalahkan Persija, kini sedang ditrapkan Persebaya terhadap anak-anak Jaya. Tapi rupanya lain Medan, lain Persebaya. Yang pertama memancing kemarahan lawan, bikin groggy mentalnya dan mencuri peluang ketika lawan lengah. Sementara Persebaya lebih mirip menjaring, hantam-kromo dan merusak keseimbangan kerjasama trio Ngurah Ray – Waskito – Kadir. Dan jangan lupa pemain seperti Risdianto yang selalu bermuka-polos bukan tidak tahu ia dan rekan-rekannya berada dalam jaring Persebaya. Itulah sebabnya di babak kedua ketika kiper Tjong dan barisan belakang Persebaya bersantaisantai mempermainkan bola – dengan maksud mengulur waktu dan memaksa pertandingan berakhir seri – Risdianto mengatur barisan depan Persija memulihkan kepercayaannya. Kesempatan itu akhirnya tiba di menit ke-78, ketika Andi Lala yang menggantikan Arwiyanto dimakan Diono. Tendangan bebas untuk Persija dali daerah penalti Persebaya terjadi. Risdianto berbisik pada Lala. Barangkali penyerang-tengah Persija ini mengingatkan rekannya bahwa dalam beberapa pertandingan terdahuhl ia terlampau sering mengecewakan suporter Persija dalam adegan di muka gawang. Dan dengan sebuah cuilan, bola disuguhkan pada Lala. Pekerjaan selan jutnya adalah menggenjot biji longkong itu ke sudut kanan gawang Persebaya. Seantero Stadion bergema. Yang tua yang muda, semuanya bangkit menyambut bobolnya gawang Tjong. Hadiah Natal dan Tahun Baru bagi warga ibukota. Bola bergulir lagi. Kini giliran Hudo Hadianto bersantai-santai. Wasit Djuremi nampaknya bingung melihat Persija bisa menang. Dan iapun makin melongo ketika Persija sama pandainya mengulur-ulur waktu.
Biang Kerok. “Tiada perarutan untuk menindak taktik mengulur waktu”, kata Ketua Komisi Wasit PSSI, Besus. Meskipun Besus mengakui bahwa biangkerok yang merampas mutu final kejuaraan 1973 ini diawali pada menitmenit pertama, ketika Djuremi sudah harus memperingatkan Rusdi Bahalwan dengan kartu kuning. “Saya akui pimpinan wasit amat buruk”, katanya pada TEMPO seusai pertandingan. Dan brengseknya pimpinan wasit itu tak perlu dipungkiri, ikut pula merusak mutu permainan yang semula diharapkan paling tidak bisa berkembang seperti dalam final Persija – Persebaya (1-1) dua tahun lalu. Tapi siapa nyana, kali ini ditutup dengan pertandingan yang paling jorok dari seluruh pertandingan di babak final kejuaraan 1973. Dan siapapun yang mencintai olahraga keras ini, toh tidak akan memicingkan mata terhadap pemerkosaan kaidah-kaidah permainannya.
Sumber : Tempo 22 Desember 1973
You are Here: Home > Artikel Tempo 22 Desember 1973 : HADIAH JUARA BUAT WARGA KOTA ( PERSIJA JUARA 1973 )
0 comments:
Post a Comment