Lautan suporter berbaju merah seakan memancarkan energi dahsyat bagi Timnas Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Rabu 29 Desember 2010.
Pada malam final Piala AFF leg kedua itu, stadion tua yang dibangun sejak 1960 itu padat sesak. Sebanyak 88 ribu tempat duduk yang tersedia tak mampu menampung luapan dukungan masyarakat kepada tim nasional Indonesia.
Timnas masuk lapangan dengan kepala tegak. Defisit tiga gol yang harus ditanggung dari final leg pertama seperti tak terpikirkan oleh mereka. Apalagi ketika 'Indonesia Raya' berkumandang. Mata sejumlah pemain berkaca-kaca. Mereka tampak siap berjuang habis-habisan.
Sayang penampilan mereka malam itu tak sebaik apa yang diperlihatkan pasukan Alfred Riedl itu saat penyisihan Grup A. Serangan tak mengalir mulus. Absennya Oktovianus Maniani di sayap kiri terasa sangat berpengaruh. Arif Suyono yang diplot Riedl menjadi pengganti gagal menampilkan pemain terbaiknya.
Setelah sempat kesulitan menembus pertahanan tim jiran, harapan akhirnya muncul. Indonesia mendapat tendangan penalti setelah pemain Malaysia handsball di kotak terlarang. Sayang, Firman Utina gagal membawa timnya unggul. Tendangannya terlalu lemah, dan dapat ditangkap kiper Khairul Fahmi Che Mat yang malam itu bermain cekatan.
Tak lama, Malaysia justru yang berada di atas angin. Usai jeda babak pertama, mereka bisa unggul lebih dulu berkat gol Mohd Safee bin Mohd Sali di menit 56.
Dua gol balasan Indonesia yang dicetak M Nasuha (71) serta gol bunuh diri pemain Malaysia yang salah mengantisipasi tendangan M Ridwan tak cukup menggaet Piala AFF ke dalam pelukan negeri. Indonesia menang 2-1, tapi secara agregat kalah 2-4.
"Semua pemain kurang tenang. Indonesia punya banyak peluang tapi kesulitan melakukan penyelesaian akhir yang mematikan," kata Jacksen Ferreira Tiago, pelatih Persipura Jayapura.
Bukit terjal 0-3
Menurut Jacksen, kegagalan Indonesia bukan disebabkan oleh hasil laga 90 menit di Senayan. Kegagalan Indonesia menjadi juara sudah 'dirintis' di bukit Jalil saat kalah 0-3, 26 Desember 2010.
"Di pertandingan tadi (di Senayan) kita menang kan? Kegagalan Indonesia menjadi juara sudah terjadi di final leg pertama," kata Jacksen. Dia menilai di final leg pertama Markus Horison dan kawan-kawan seolah kurang tenaga. Terlalu banyak kesalahan yang tak perlu hadir di pertandingan itu.
"Pada leg kedua tak perlu kita menyalahkan siapa-siapa. Firman juga tidak salah. Riedl sudah menyiapkan dia menjadi algojo sejak latihan karena dia memang paling siap. Apalagi dia sukses menendang penalti di penyisihan grup."
Kunci kemenangan Malaysia
Malaysia di final leg kedua memang sudah berada di atas angin. Kalah 0-2 pun mereka masih tetap menjadi juara. Tapi bagaimana pun, peran kiper Khairul Fahmi Che Mat, yang sempat menjadi trending topic twitter, layak dikedepankan.
Berkali-kali ia memotong bola umpan silang yang dilepaskan sayap-sayap Indonesia. Kegemilangannya saat menangkap tendangan penalti Firman menjadi highlight dari penampilannya.
Selain itu, kepercayaan Malaysia kepada pemain muda juga menjadi kelebihan tersendiri. K Rajagobal mampu meramu pilar-pilar di tim U-19 dan U-23, yang bisa menjadi juara SEA Games 2009 lalu, menjadi penopang di timnas senior.
"Inilah yang harus dicontoh Indonesia. Pembinaan pemain muda harus dikedepankan," ujar Jacksen.
Jacksen yang pernah merasakan gelar juara Indonesia baik sebagai pemain dan pelatih itu juga memuji keberanian Federasi Sepakbola Malaysia untuk menutup kesempatan bagi pemain asing bermain di liga mereka.
"Indonesia memang tak perlu seradikal itu. Sekarang kan boleh lima pemain asing, harusnya cukup tiga saja. Agar pemain lokal dapat kesempatan main lebih banyak."
Sisi positif Riedl
Terlepas dari kegagalan Indonesia menjadi juara dalam empat percobaan di partai final Piala AFF, ada harapan yang diperlihatkan timnas di bawah asuhan Alfred Riedl. Ia berani memilih beberapa pemain baru yang sebelumnya tidak dilirik sama sekali.
Riedl juga sama sekali tak memandang senioritas di dalam tim. Bambang Pamungkas mungkin tak pernah mengira ia bakal tak pernah menjadi starter sama sekali di Piala AFF kali ini. Bagi Riedl, yang boleh main dari awal adalah yang paling siap. Bukannya yang paling berpengalaman.
Jacksen setuju sikap Riedl. Persiapan mepet yang dilakukan Riedl mampu diramu menjadi kekuatan, yang setidaknya ampuh di penyisihan hingga semifinal. Apalagi mengingat hanya ada waktu 48 jam untuk menyiapkan pasukan Timnas Indonesia setelah kekalahan di Bukit Jalil, Kuala Lumpur.
Tapi penampilan Indonesia malam itu, terutama semangat menyerang yang konstan, bolehlah membuat para suporter sedikit berbusung dada.
Seperti dikatakan Jaksen, setidaknya Riedl berhasil menyalakan kembali harapan baru. "Saya sudah 16 tahun di Indonesia tapi tak pernah lihat antusiasme seperti ini. Artis-artis cantik mau datang ke stadion. Semua orang Indonesia bangga sekarang punya timnas seperti ini.
Sumber: VivaNews Related Articles :
0 comments:
Post a Comment