Photobucket
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

25 January 2011

Tempo Bongkar Habis Kebobrokan “KoruPSSI” Laga ISL!


Tulisan saya terdahulu tentang PSSI Langgar FIFA Statutes, Ngaku Saja Lah! ternyata mendapat respon yang sangat besar baik dari jumlah pembaca maupun jumlah respon komentarnya. Mayoritas pembaca mengiyakan berbagai pelanggaran PSSI terhadap statuta FIFA sekaligus mereka men-support untuk membongkar lagi kebobrokan pada kompetisi ISL dibawah asuhan PSSI.

Ternyata minggu ini majalah Tempo membongkar habis KORUPSSI pada laga ISL. Berbagai bentuk kongkalikong serta kecurangan pada setiap pertandingan ISL di bongar habis-habisan. Mulai dari sandiwara pemain, wasit, agen, pelatih sampai deal-deal tingkat tinggi permainan skor pertandingan sepak bola. Intinya semua pertandingan dalam ISL sudah diatur, mungkin skor-nya pun sudah diatur lewat deal-deal di belakang meja.

Inilah bukti nyata pelanggaran Statuta FIFA kelas berat yang selama ini dilakukan oleh PSSI, benar-benar Edan…..!!!
Inilah link untuk Laporan Utama Majalah TEMPO minggu ini:

Kompetisi dengan Spesialis Blunder dan Kado Penalti
JAUH hari sebelum dibuka, sudah terasa Kongres Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia akhir pekan lalu di Hotel Pan Pacific Nirwana Bali Resort, Tanah Lot, Bali, bakal berlangsung panas. Sehari sebelum acara, petugas keamanan hotel menghalau siapa pun yang tak berkepentingan. Polisi bertebaran di mana-mana. Belasan wartawan bahkan sempat diusir karena tak punya kartu izin meliput Kongres PSSI. Organisasi yang dipimpin Nurdin Halid itu memang sedang gonjang-ganjing, antara lain, karena lahirnya kompetisi tandingan Liga Primer Indonesia (LPI).

Pertikaian klub pendukung Liga Super Indonesia, yang bernaung di bawah PSSI, dengan klub yang "hijrah" ke Liga Primer menambah ketegangan kongres. Ada kabar ratusan suporter Bonek-pendukung klub Persebaya Surabaya, yang pindah ke LPI-akan menggelar unjuk rasa di Bali. Bonek memprotes kebijakan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid yang membekukan keanggotaan Persebaya dan melarang eks Ketua Persebaya Saleh Ismail Mukadar menghadiri kongres. "Begini jadinya kalau PSSI dipimpin orang seperti Nurdin," ujar Saleh pedas. Bersama sejumlah pendukungnya, Saleh diam-diam sudah masuk arena kongres di hotel milik keluarga Bakrie itu. "Nurdin selalu bikin aturan sendiri," kata Saleh dengan kesal.

PSSI juga membekukan keanggotaan PSM Makassar, Persis Solo, Persibo Bojonegoro, dan Persema Malang. Selain Persis Solo, tiga klub itu sudah pindah ke Liga Primer Indonesia. Sejak awal Januari lalu, meski tidak direstui PSSI, liga yang digagas Gerakan Reformasi Sepak Bola Nasional dan pengusaha Arifin Panigoro itu memang sudah bergulir. Meski tak diundang, semua klub yang dicoret PSSI sudah merapat ke Bali. "Kami menganggap surat pembekuan ini tidak sah," kata Ketua Umum Persibo Taufik Risnendar.

Dari luar arena kongres, serangan terhadap PSSI tak kalah gencar. Sejumlah mantan pengurus PSSI-antara lain Sumaryoto, Tondo Widodo, dan Abu Bakar Assegaf-menggugat kepengurusan Nurdin Halid di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Mereka cacat hukum dan harus mundur secepatnya," kata Harjon Sinaga, kuasa hukum para penggugat.

Meskipun PSSI dirundung setumpuk masalah, sepak bola Indonesia dua bulan terakhir ini mendadak jadi buah bibir masyarakat. Ditangani pelatih asing Alfred Riedl, tim nasional mencapai final Piala Federasi Sepak Bola ASEAN, Desember lalu. Ketika tim nasional "tewas" di tangan negeri jiran Malaysia, publik kembali menyorot kepemimpinan buruk Nurdin Halid.

Selama tujuh tahun Nurdin memimpin PSSI, boleh dikata tak ada prestasi membanggakan. Indonesia tak sekali pun merebut Piala ASEAN. Satu dekade terakhir, Indonesia cuma jadi penggembira di panggung sepak bola dunia. Kompetisi kacau-balau, diwarnai kericuhan, baku hantam, juga dugaan pengaturan hasil pertandingan.

Pada pertengahan 2010, sebuah kantor auditor internasional diundang mencari tahu apa yang salah dengan pengelolaan klub-klub di Indonesia. Auditor itu memeriksa 16 klub-sebagian besar bertarung di Liga Super Indonesia, kompetisi divisi utama di negeri ini-dan menemukan fakta memprihatinkan. Meski menelan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai puluhan miliar setiap tahun, hanya tiga klub yang punya laporan keuangan teraudit. Bahkan hanya empat klub yang berbadan hukum. Selebihnya tak jelas bentuk organisasinya.

Semua klub tidak punya sistem pembukuan standar. "Laporan keuangan hanya dibuat dengan program Excel dan bisa diakses siapa saja tanpa proteksi memadai," tulis laporan itu. Semua klub tidak punya aset. Stadion, asrama, dan kendaraan merupakan pinjaman pemerintah daerah. Manajemen dan pemain datang dan pergi. Sebagian pemain dan pelatih tak punya kontrak hitam di atas putih. Laporan setebal 165 halaman itu menunjukkan betapa kacau manajemen sepak bola di negeri ini.

Tak mungkin prestasi lahir dari keadaan runyam begini. Ada indikasi, dalam kompetisi, semua bisa diatur. Segala cara dianggap halal, termasuk mengatur wasit, kartu kuning dan merah, juga skor pertandingan. Bahkan pengaturan diduga sampai pada penentuan klub juara. Kemenangan diraih lewat jalan apa saja, demi mempertahankan kucuran anggaran (APBD) dan prestise daerah.


STADION seakan segera meledak. Teriakan dan nyanyian puluhan ribu suporter kedua kesebelasan memecahkan telinga. Minggu ketiga Februari tahun lalu itu Persebaya Surabaya bertamu ke kandang Arema di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, dalam kompetisi Liga Super. Aremania dan Bonek "bertempur" adu keras suara, memberi semangat kedua tim yang menyerang silih berganti.

Tak ada yang aneh sampai menjelang menit terakhir. Tiba-tiba, hanya semenit sebelum peluit panjang ditiup wasit, ketika pemain Persebaya, Anderson da Silva, berebut bola dengan pemain lawan, pemain Arema jatuh di kotak penalti Persebaya. Prittt.... Wasit Olehadi dari Tangerang menunjuk titik putih: penalti untuk Arema. Stadion seperti pecah oleh gemuruh teriakan Aremania. Kapten Arema, Pierre Njanka, mengeksekusi tendangan "12 pas" itu dengan mulus. Arema unggul satu gol.

Seusai pertandingan, Saleh Ismail Mukadar, yang ketika itu masih menjabat manajer, tak sanggup menahan marah. Dia menuntut polisi memeriksa dan menahan wasit Olehadi. Saleh menduga ada "faktor nonteknis" yang membuat Persebaya kalah. Wasit tak akan memberikan penalti jika tak ada pelanggaran yang mencolok mata. "Sejak itu saya mulai curiga kepada pemain saya sendiri," kisah Saleh tentang kejadian buruk itu.

"Faktor nonteknis" dalam sepak bola Indonesia merupakan istilah sopan pengganti "pengaturan" dari luar lapangan-sesuatu yang tak ada urusannya dengan keterampilan menggocek bola atau melesakkan bola ke gawang lawan. Klub yang hebat dalam menyerang bisa sangat frustrasi jika wasit terus-menerus meniup peluit tanda penyerang berdiri offside-berdiri di belakang barisan pertahanan lawan ketika bola dioper. Di menit-menit penghabisan, klub yang andal bisa kalah dengan konyol bila wasit mendadak memberi lawan hadiah penalti untuk pelanggaran kecil. Pemain juga punya sejuta trik untuk "mengundang" wasit memberikan kado penalti.

Penyelidikan Saleh Mukadar akhirnya mengungkap kebusukan itu. Seorang pemain tim "Bajul Ijo"-julukan Persebaya-mengaku ada lima pemain di tim itu yang bisa "dibeli" di Liga Super. Pemain belakang tim itu terkenal spesialis membuat blunder alias kesalahan fatal-yang ternyata merupakan "pesanan". Dari 22 pertandingan paruh pertama musim lalu, gawang Persebaya kemasukan 36 gol. "Kami akhirnya sepakat merombak tim," kata Saleh.

"Perdagangan gol" bukanlah barang baru. Sejumlah sumber yang dihubungi Tempo mengaku sub-agen pemain atau bahkan pemain sendiri sering datang menawarkan diri untuk bermain "sandiwara". Biasanya mereka datang sehari sebelum pertandingan. Setelah deal, manajer tim lawan akan berhubungan melalui pesan pendek. Bahkan sumber Tempo mengungkapkan, sebuah klub cukup mendapat tiket pesawat pulang untuk mau menerima kekalahan dengan selisih gol tipis.

Isi pesan pendek untuk mengatur pertandingan itu lucu-lucu. Ada yang menawarkan, "Ini ada lima kambing siap disembelih, tertarik atau tidak?" Tarif "kambing" alias pemain yang bersedia membuat timnya kalah itu bervariasi antara Rp 5 juta dan Rp 10 juta. "Besarnya tergantung tim dan penting atau tidaknya pertandingan," kata sumber itu. Pemain sering kepepet, karena gaji bulanan sering terlambat. Nilai kontrak pun kadang disunat.

Akhir Februari 2010, Persebaya akhirnya memecat pelatih Danurwindo. Pelatih senior Rudy William Keltjes masuk. Namun itu bukan akhir nasib buruk Persebaya. Dua bulan kemudian, Persebaya makin terpuruk di zona degradasi. Mereka terancam jatuh ke Divisi Utama. Pada pertandingan menentukan, melawan Persik Kediri, akhir April 2010, terjadilah insiden yang praktis membunuh peluang Persebaya.

"Empat hari sebelum pertandingan di Kediri, izin polisi tidak turun," kisah Saleh Mukadar. Alasannya, pertandingan terlalu dekat dengan pemilu. Panitia lalu memindahkan laga ke Yogyakarta sepekan kemudian. Lagi-lagi pertandingan batal. "Sesuai keputusan Komisi Disiplin, seharusnya kami menang walk-out 3-0," ujar Saleh. Dengan begitu, Persebaya lolos dari degradasi. Namun Persik meminta banding. Komisi Banding PSSI memutuskan pertandingan itu ditunda sampai Agustus. Lokasinya pun ditetapkan di Palembang. Frustrasi dengan keputusan PSSI, Persebaya menolak bertanding dan dinyatakan kalah.

Saleh pun meradang. Anggota DPRD Jawa Timur dari Fraksi PDI Perjuangan ini dengan lantang menyatakan, "Kami memang sengaja disingkirkan untuk menyelamatkan tim lain." Tim yang lolos dari zona degradasi ketika itu adalah Pelita Jaya-klub milik Grup Bakrie. Ketika ditanya, Manajer Pelita Jaya, Lalu Mara Satriawangsa, menampik tudingan Saleh. "Biasa, kalau kalah pasti marah-marah," katanya santai.



APRIL 2010. Musim kompetisi tinggal sebulan lagi. Arema masih kokoh bertengger di pucuk klasemen, ditempel ketat Persipura Jayapura. Klub asal Papua ini siap menyalip jika Arema kalah dalam pertandingan berikutnya.

Laga yang menanti Arema tidak sembarangan. Mereka harus menghadapi Persiwa Wamena di kandang lawan, Stadion Pendidikan, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Selama kompetisi Liga Super berlangsung, tak ada satu pun tim sepak bola yang bisa mengalahkan Persiwa di kandangnya.

"Persiwa Wamena ini tim aneh, karena selalu mendapat penalti di menit-menit akhir," kata pelatih Arema, Robert Alberts, sebelum berangkat ke Papua. Gol ajaib akibat keputusan wasit yang ganjil memang kerap terjadi pada pertandingan Liga Super di Papua. Walhasil, Arema seperti menjalani misi mustahil.

Pemain Arema juga "terteror" insiden kasar dalam pertandingan dua pekan sebelumnya di Wamena. Pemain-pemain Persiwa tak hanya mengalahkan Persisam Samarinda dengan satu gol, tapi juga memukuli enam pemain Persisam. Manajer Persiwa Jhon Banua bahkan turun ke lapangan dan memukul pemain hanya karena ada pemain Samarinda yang memprotes gol tunggal Persiwa yang dianggap offside. Jhon sudah meminta maaf atas insiden memalukan itu.

Tapi, di luar dugaan banyak orang, Arema justru menang 2-0. Lewat pertandingan yang bersih, Arema bermain cantik. Dua gol Arema dicetak Muhammad Ridhuan dan Roman Chmelo.

Ketika dihubungi dua pekan lalu, Jhon Banua mengaku masih ingat betul pertandingan menentukan itu. "Saya marah sekali," kata Wakil Bupati Jayawijaya itu. Itulah kekalahan pertama dan satu-satunya Persiwa di kandang sendiri. "Sepertinya PSSI memang memberi kesempatan kepada Arema untuk juara pada musim lalu," ujar Jhon bersungut-sungut.

Apa rahasianya? Arema mengaku meminta tim khusus PT Liga Indonesia memantau pertandingan di Wamena. "Kami ingin mengantisipasi semua faktor nonteknis," kata Manajer Arema Mudjiono Mudjito. "Apa salahnya menghubungi semua pihak terkait untuk berjaga-jaga?" Artinya, Arema menang justru ketika pertandingan tidak diganggu "keanehan" macam-macam.

Menurut sumber Tempo, kejadian di Wamena itu indikasi bahwa Arema memang "dikawal" petinggi PSSI. Di Liga Super dan divisi-divisi di bawahnya, memang sudah jamak dikenal pentingnya sebuah klub membeli "pengawalan" khusus dari "bapak asuh". Biasanya mereka adalah petinggi PSSI.

Di Kalimantan, tim Divisi I seperti Persepar Palangkaraya, misalnya, pernah menghabiskan Rp 400 juta untuk urusan ini. Sigit Wido, Wakil Sekretaris Umum Persepar, mengaku menyerahkan fulus itu dalam beberapa tahap kepada Subardi, Ketua Badan Liga Amatir Indonesia, dan anggota Komite Eksekutif PSSI. "Itu harga paket untuk mengantarkan kita naik ke divisi berikutnya," kata Sigit.

Dihubungi terpisah, Subardi membantah cerita ini. "Itu pembunuhan karakter," katanya. Menurut dia, yang ada di PSSI adalah pembagian wilayah untuk pembinaan klub. Sejumlah anggota Komite Eksekutif PSSI mendapat tugas dari Nurdin Halid untuk mengawasi wilayah tertentu.

Subardi, misalnya, ditugasi mengawasi klub-klub di Jawa. Anggota lain, Mafirion dan Muhammad Zein, bertanggung jawab mengawasi Sumatera. Nurdin sendiri mengawasi langsung klub di Sulawesi dan Kalimantan. "Pembagian ini berdasarkan kedekatan kami dengan kultur setempat," kata Subardi.

Singkat cerita, pada Mei 2010, setelah bermain imbang 1-1 dengan PSPS Pekanbaru, Arema resmi menjadi juara. Ribuan suporter Aremania membanjiri pertandingan terakhir Arema di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Di sana, Arema mengempaskan Persija 2-1. Lengkap sudah kesaktian tim Singo Edan.



KALAU dirunut ke belakang, Arema sesungguhnya bukan tim andalan. Ketika musim dimulai, September 2009, mereka nyaris bubar. Pemilik Arema, PT Bentoel Indonesia, mendadak menarik diri. Perubahan kepemilikan di Bentoel adalah biang keladinya. British American Tobacco, pemilik baru perusahaan rokok itu, melarang Bentoel mengurus klub olahraga.

Arema pun kelimpungan. Apalagi orang-orang Bentoel di Arema mundur satu per satu. Darjoto Setyawan, Ketua Yayasan Arema, dan Gunadi Handoko, Direktur Utama PT Arema, mengundurkan diri. Berbagai skenario penyelamatan pun dicoba. Mereka bahkan pernah menjajaki merger dengan klub sepupunya, Persema Malang. Tapi gagal.

Ketika krisis itulah ikatan lama antara keluarga Bakrie dan Arema hidup lagi. Di masa awal pendiriannya, pada 1987, Arema pernah mendapat bantuan Rp 61 juta dari Nirwan Dermawan Bakrie. Ini jumlah yang lumayan besar untuk zaman itu. Andi Darussalam Tabusalla, ketika itu menjabat Sekretaris Galatama, juga terhitung pendiri Arema.

Kini Nirwan dan Andi jadi orang penting di PSSI dan PT Liga Indonesia. Nirwan adalah Wakil Ketua Umum PSSI dan Komisaris Utama PT Liga. Sedangkan Andi Darussalam-orang kepercayaan keluarga Bakrie dalam penyelesaian krisis Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur-adalah Presiden Direktur PT Liga.

Nama keduanya tercatat dalam akta notaris pendirian PT Liga, tertanggal 8 Oktober 2008. Dalam akta itu tertulis bahwa pemilik mayoritas saham PT Liga adalah PSSI, yang diwakili Ketua Umum Nurdin Halid dan Sekretaris Jenderal Nugraha Besoes.

Sumber Tempo di dalam manajemen Arema membenarkan adanya bantuan Bakrie. "Jumlahnya lebih dari Rp 7 miliar," katanya. Ketika mulai berlaga di musim ini November lalu, klub itu memang masih berutang Rp 7,1 miliar.

Peran Andi Darussalam tak kalah besar. Dia turun tangan langsung ketika Arema mengalami krisis keuangan. "Saya punya ikatan batin yang kuat dengan Arema," ujarnya ketika itu. Menurut Andi, Arema harus diselamatkan untuk menjadi proyek percontohan bagaimana sebuah klub profesional dikelola dan sukses. Tak hanya soal dana, Andi juga mencarikan pelatih dan pemain asing terbaik.

Keterlibatan Andi dan Nirwan inilah yang-mau tak mau-membuat Arema disegani klub lain. "Mana ada yang berani mengganggu Arema?" kata seorang pengawas pertandingan. Ketika sebagian klub lain berjibaku, kasak-kusuk kanan-kiri menyiasati "faktor nonteknis", Arema bisa melenggang. Gelontoran dana Rp 4,5 miliar untuk Arema dari Ijen Nirwana-perusahaan pengembang perumahan milik Grup Bakrie-di awal musim ini mempertegas kedekatan antara Arema dan keluarga Bakrie.

Sumber Tempo menyebutkan ada deal lain di balik kemenangan Arema di Liga Super. Bank Rakyat Indonesia kabarnya sudah dijajaki untuk jadi sponsor utama jika Arema juara. Nilai kontrak itu mencapai Rp 20 miliar. Tapi batal. "Arema memang pernah memberi presentasi di hadapan manajemen BRI. Tapi kami menolak karena sudah berkomitmen membantu basket dan karate," kata Muhamad Ali, Sekretaris Korporat BRI.

Joko Driyono, Direktur Utama PT Liga, menegaskan tidak pernah ada skenario mengangkat Arema jadi juara. "Itu hanya ungkapan kekecewaan tim yang kalah," ujarnya. Andi Darussalam hanya berkomentar singkat, "Soal itu tanya Pak Nugraha saja. Kami sudah sepakat dia juru bicaranya."

Ketika dihubungi, Sekretaris Jenderal PSSI Nugraha Besoes hanya tertawa dan menolak berkomentar panjang. "Itu ribut-ribut lama," katanya. Sama seperti Joko, dia menilai kabar ini hanya isu yang diembuskan pihak yang kecewa.

Nirwan Bakrie sendiri menanggapi tuduhan ini dengan ringan. "Saya juga dengar itu," katanya sambil tersenyum. Tapi dia membantah punya andil memenangkan Arema jadi juara Liga Super. "Arema memang bagus. Mereka jadi juara ya karena menang terus," ujarnya.

Ketua Satgas Anti-Suap dan Mafia Wasit PSSI Bernhard Limbong mengakui memang tak mudah menembus mafia pertandingan dan membongkar praktek suap-menyuap di tubuh PSSI. "Ini seperti bau kentut. Semua mencium dan merasakan, tapi sulit dicari buktinya," katanya.

Koteka dan Kambing Pinggir Lapangan

Permainan atraktif dan dinamis yang dulu disebut sepak raga ini selalu menyedot perhatian. Banyak kepentingan pun menungganginya: dari urusan judi sampai politik. Jalan pintas kerap ditempuh agar tim yang dijagokan menang, termasuk menggelontorkan suap. Pemain, manajer, pelatih, wasit, dan pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia pernah tercemar rasuah. Sebagian terungkap, tapi lebih banyak yang lolos.

Inilah sejumlah modus yang kerap digunakan untuk mengatur skor pertandingan.


Manajer/pelatih:
Manajer klub menelepon atau mengirim pesan pendek ke manajer klub lawan, baik secara langsung maupun lewat perantara. Ia menawarkan pemainnya yang bisa dibeli. �Saya punya lima koteka, nih. Mau beli?" Atau, �Ini ada lima kambing siap disembelih."

Wasit:
Sebelum hari pertandingan, manajer klub memesan wasit tertentu yang telah dikenalnya. Tarifnya Rp 20-50 juta, tergantung tawar-menawar dan penting-tidaknya pertandingan. Di kamar ganti, klub akan mengirim orang untuk menjaga wasit agar tidak �digarap" tim lain. Saat pertandingan, wasit bisa menghadiahkan penalti, menghujani pemain lawan dengan kartu kuning/merah, dan tutup mata terhadap pelanggaran tim yang membayar.

Pemain:
Untuk mengamankan kemenangan, cukup �membeli" minimal tiga pemain klub lawan: kiper, bek, dan penyerang. Menurut seorang pengurus klub, penyerang ditugasi terus-menerus menendang bola ke luar lapangan saat mendekati gawang lawan. Pemain belakang diorder mengendurkan penjagaan dan melakukan pelanggaran kasar di kotak penalti. Sedangkan kiper diminta gagal menangkap bola.

Tarif suap
Rp 5-25 juta per pemain per pertandingan

Fulus di Sekitar Lapangan

Aroma suap mulai kencang tercium dari lapangan hijau pada 1960-an. �Kreativitas" mafia yang ingin mengatur hasil pertandingan kian mencengangkan.

1960
Persatuan Sepak Bola Makassar menonaktifkan Ramang, striker andalannya, karena diduga menerima suap.

1961
�Skandal Senayan" mengguncang sepak bola Tanah Air. Delapan belas pemain tim nasional, seperti Bob Hippy dan Wowo Soenaryo, serta tiga wasit dituduh menerima suap sekitar Rp 25 ribu per orang ketika Indonesia menjamu Yugoslavia pada laga persahabatan.

Oktober 1978
Kiper tim nasional, Ronny Pasla, dilarang bertanding lima tahun karena menerima suap pada ajang Merdeka Games di Kuala Lumpur, Malaysia. Tiga rekannya diberi sanksi dua tahun. Sedangkan Iswadi Idris dan Oyong Liza mendapat sanksi satu tahun.

Juli 1979
Javeth Sibi, pemain klub Perkesa 78, dan empat rekannya menerima suap Rp 1,5 juta dari bandar judi. Mereka diberi sanksi setahun larangan bermain.


Oktober 1979
Endang Tirtana, kiper klub Warna Agung, dan gelandang tengah Marsely Tambayong menerima suap Rp 1 juta dari bandar judi.

Agustus 1981
Budi Santoso, Bujang Nasril, dan M. Asyik dari klub Jaka Utama mengantongi suap minimal Rp 100 ribu dari bandar judi. Mereka diganjar sanksi lima tahun.

1982
Budi Trapsilo dari Persatuan Sepak Bola Medan dan Sekitarnya dilarang bermain sepak bola sepuluh tahun karena suap.

April 1984
Sun Kie alias Jimmy Sukisman, bendahara klub Caprina Bali, dihukum lima tahun tidak boleh aktif dalam sepak bola nasional karena menyuap pemain Makassar Utama. PSSI juga membekukan klub Cahaya Kita milik Lo Bie Tek dan Kaslan Rosidi. Keduanya dilarang mengurusi sepak bola lagi.

April 1987
Pemain tim nasional Noach Maryen, Elly Idris, Bambang Nurdiansyah, dan Louis Mahodim menerima suap saat penyisihan pra-Olimpiade di Singapura dan Tokyo. Mereka diberi sanksi tiga tahun.

Maret 1998
Wakil Ketua Komisi Wasit PSSI Djafar Umar dan 40 wasit lain terbukti menerima suap. Ia dilarang aktif di sepak bola selama 20 tahun. Tapi pengurus klub yang menyuap malah lolos.

Periode Nurdin Halid 2003-sekarang

Juni 2007
Ketua Komisi Disiplin PSSI Togar Manahan Nero dan Wakil Sekretaris Jenderal Kaharudinsyah dituduh menerima suap Rp 100 juta dari klub Penajam. Sekretaris Umum Penajam Syawal Rifai dan Asisten Manajer Arismen Bermawi dihukum tak boleh mengurus sepak bola selama lima tahun. Togar dan Kaharudinsyah lolos dan sampai sekarang menjadi pengurus PSSI.

Oktober 2010
Pelatih Persibo Bojonegoro, Sartono Anwar, mengaku dimintai Rp 10 juta oleh wasit ketika bertanding melawan Persema Malang di Stadion Gajayana. Satgas Anti-Suap dan Mafia Wasit PSSI memanggil wasit Iis Permana, hakim garis Trisnop Widodo dan Musyafar, serta wasit cadangan Hamsir. Tak ada sanksi buat para pengadil. Sartono justru didenda Rp 50 juta karena berkata kasar kepada wasit.

Uang Saku Jago Kandang
Menjadi tuan rumah adalah keuntungan, baik ada suap maupun tidak. Tapi di Liga Super Indonesia sungguh luar biasa. Hampir tak ada tuan rumah yang kehilangan poin pada pertandingan kandang. Resepnya sederhana: �Kita kasih uang saku ke wasit," kata satu manajer klub. Kalau tim tamu ngotot bertahan, hadiah penalti di menit-menit terakhir siap diberikan.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/01/24/LU/mbm.20110124.LU135733.id.html

Dana Ajaib Raja Penalti
Lelaki yang biasanya garang di tepi lapangan itu tertunduk lesu ketika jaksa membacakan tuntutan di Pengadilan Negeri Samarinda, Kalimantan Timur. Rabu pekan lalu, mengenakan hem biru dipadu celana gelap, Aidil Fitri sesekali mengusap dahi, meski tidak ada keringat di keningnya. Senyumnya kecut.

Sejak pertengahan tahun lalu, lelaki gempal itu duduk di kursi terdakwa. Dipimpin oleh ketua majelis hakim Parulian Lumbantoruan, bekas manajer kesebelasan Persisam Putra Samarinda ini didakwa menyelewengkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Rp 1,784 miliar.

Sore itu, jaksa penuntut umum Andi Dahreen menuntutnya dua tahun penjara. Lelaki 46 tahun kelahiran Balikpapan ini juga harus mengembalikan dana Rp 1,784 miliar-sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Seusai sidang, Aidil berucap, "Saya akan menerima apa pun keputusan hakim."

Perkara Aidil hanyalah satu dari banyak perkara serupa, yakni korupsi dana APBD sepak bola. Kasus ini bermula ketika Persisam berlaga di Divisi Utama 2007-2008. Ketika itu, Persisam menerima kucuran dana dari Pemerintah Kota Samarinda Rp 12 miliar. Tahun berikutnya, klub yang dijuluki Elang Borneo itu disuntik Rp 25 miliar. Seluruh aliran duit tadi buat menopang kegiatan Persisam selama mengikuti kompetisi Divisi Utama. Nyatanya, fulus bocor di mana-mana.

Aidil-bekas Ketua Pemuda Pancasila dan Ketua Dewan Perwakilan Cabang Partai Patriot-merekayasa nilai kontrak pemain dan pelatih. "Rata-rata digelembungkan Rp 50-100 juta per orang," kata Arna Effendi, bekas sekretaris tim Persisam, yang juga menjadi tersangka dalam kasus ini.

Bekas pelatih Persisam, Eddy Simon Badawi, misalnya, meneken kontrak Rp 325 juta per tahun pada akhir 2008. Faktanya, duit yang diterimanya cuma Rp 225 juta. Begitu pula mantan pemain Persisam, Victor Simon, yang dikontrak Rp 275 juta per musim, tapi hanya menerima Rp 175 juta. Bahkan bekas pemain Persisam, Puji Listiono, dalam berita acara pemeriksaan mengaku pernah menandatangani kuitansi kosong.

Arna Effendi mengatakan kontrak pemain dan pelatih dibuat rangkap. Begitu pula dengan laporan keuangan: ada yang asli, ada yang fiktif dengan kuitansi palsu.

Menurut Andi Dahreen, selisih duit yang digelembungkan ada yang masuk kantong sejumlah anggota Dewan Samarinda yang meninjau pusat pelatihan Persisam di Solo pada Januari 2008. Ada pula yang masuk kantong Aidil-di antaranya untuk membeli cincin dan mobil Suzuki Swift keluaran 2008 serta membayar uang muka rumah.

Sisanya dikuras untuk melayani pengurus pusat PSSI yang berkunjung ke Samarinda dan menyediakan aneka rupa servis buat wasit saat bertanding di kandang. Maklum, Aidil ketika itu masih menjadi Ketua PSSI Samarinda. Hasilnya, entah kebetulan entah tidak, selama 15 kali bertanding di kandang, Persisam diberi hadiah penalti 20 kali oleh wasit. Maka juara Divisi Utama musim 2008-2009 ini dijuluki Raja Penalti.

Semrawutnya pengelolaan keuangan klub bukan cuma milik Persisam-yang setelah musim 2008-2009 promosi ke Liga Super Indonesia. Buktinya, minim sekali kesebelasan di Indonesia yang punya laporan keuangan yang diaudit berkala. Hal ini terungkap dari hasil uji tuntas keuangan yang dilakukan auditor internasional terhadap 16 klub sepak bola di Tanah Air yang berlaga di Liga Super dan divisi di bawahnya sepanjang 2009-2010.

Laporan keuangan mereka tidak memenuhi standar akuntansi, sekadar pakai program Microsoft Excel yang bisa dihapus dan diubah siapa saja sehingga kesahihannya diragukan. Laporan keuangan PSMS Medan dan Arema Indonesia masuk kategori ini.

Situasi ini diperparah oleh perubahan manajemen klub yang tidak diikuti pengalihan pembukuan dan pelaporan administrasi ke manajemen baru. Klub-klub yang bertanding di liga naungan PSSI itu juga tidak punya code of conduct dan prosedur operasional standar. "Bahkan ada orang yang punya otoritas tapi tidak masuk struktur."

Orang-orang seperti inilah, kata sejumlah praktisi yang malang-melintang di dunia bola, yang kerap mengawal dan menjanjikan klub meraih kemenangan. Tentu saja tidak gratis. Itu sebabnya, banyak fulus berceceran, yang pemakaiannya sulit dipertanggungjawabkan-istilahnya "biaya-biaya nonteknis".

Dari 16 klub yang ditelisik, cuma empat kesebelasan yang berbadan hukum. Dari empat klub itu, cuma Arema dan Persebaya yang memiliki nomor pokok wajib pajak. Tidak mengherankan bila klub-klub sepak bola ini tidak pernah membayar pajak.

Bahkan ada klub yang sudah berbadan hukum justru dibubarkan demi memperoleh dana APBD. Ini terjadi pada PT Delta Putra Sidoarjo-badan hukum Deltras Sidoarjo-yang dibubarkan tiga tahun lalu. Manajemen klub ini dikuasai oleh keluarga Vigit Waluyo.

Di klub ini, dana dari pemerintah kabupaten-melalui Komite Olahraga Nasional Indonesia daerah-masuk rekening pribadi Vigit. Penarikan uang hanya dilakukan oleh Vigit dan Ayu Sartika Virianti, anak Vigit yang juga menjadi manajer tim. Tidak ada rekening bank atas nama Deltras, juga tidak ada laporan keuangan. Ditemui di Surabaya awal bulan ini, Vigit menyanggah semua informasi itu. "Saya tidak mau menanggapi tuduhan macam-macam," kata Ketua PSSI Jawa Timur itu.

Nah, pemakaian yang tidak jelas juntrungannya itu memang sebagian besar berasal dari dana APBD. Dari uji tuntas tadi terlihat, lebih dari separuh pendapatan klub ditopang oleh anggaran pemerintah daerah-kecuali Persib, Semen Padang, dan Arema. Dari situ, 60-70 persen dikeluarkan buat belanja pemain, yang tidak jarang digelembungkan, seperti kasus Aidil. Sisanya buat kebutuhan klub sehari-hari. Sementara itu, pemasukan dari Badan Liga Indonesia dan PSSI tidak signifikan.

Ironisnya, setelah kenyang makan duit rakyat bertahun-tahun, klub-klub ini selalu mengalami defisit di akhir kompetisi. Deltras, misalnya, defisit Rp 946 juta di akhir Liga Super 2009-2010.

Menurut Apung Widadi, peneliti Indonesia Corruption Watch, kucuran dana dari pemerintah daerah ini juga rawan dipolitisasi pejabat daerah, yang biasanya menjadi pengurus teras klub. Itu sebabnya, tidak sedikit politikus daerah yang mati-matian memperjuangkan agar klub menerima suntikan dana dari pemerintah daerah. "Dengan harapan, prestasi yang dicapai klub bisa mendongkrak popularitas," kata sejumlah manajer yang ditemui Tempo.

Buktinya, banyak pengurus klub yang kemudian sukses dalam pemilihan kepala daerah. Bambang D.H., ketika itu Ketua Umum Persebaya, misalnya, sukses menjadi Wali Kota Surabaya pada 2005 setelah setahun sebelumnya klub itu menjuarai Liga Indonesia. Jhon Richard Banua tiga tahun lalu berhasil menjadi Wakil Bupati Jayawijaya setelah menjadi Manajer Persiwa Wamena. "Melalui bola mereka bisa mencari suara," kata Harry Ruswanto, bekas Manajer Persitara, yang pernah dilamar oleh beberapa partai politik untuk menjadi anggota Dewan.

Menurut Subardi, anggota Komite Eksekutif PSSI, pemakaian dana publik itu sah-sah saja, asalkan bisa dipertanggungjawabkan. Ia tidak setuju bila dana APBD dihapus begitu saja. "Nilainya masih belum seberapa karena sepak bola merupakan hiburan rakyat yang bisa mempersatukan bangsa," kata anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Daerah Istimewa Yogyakarta periode 2004-2009 ini.

Seorang manajer klub mengatakan dana anggaran daerah sudah menjadi candu buat para pegiat bola. Padahal haram hukumnya buat perusahaan terbuka menerima dana tersebut. Agar bisa menerima kucuran dana, perusahaan terbuka menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah membentuk klub. Lalu anggaran disalurkan ke klub tadi melalui KONI daerah. "Ini cara paling baik untuk melakukan manipulasi," katanya.

Status perusahaan terbuka itu, kata dia, cuma formalitas agar klub bisa berlaga di liga profesional. Toh, PSSI tidak pernah mau tahu sumber dana klub.

Raja Penalti Liga Super

Klub Persisam Putra Samarinda dari Kalimantan Timur adalah juara Divisi Utama Liga Indonesia musim kompetisi 2008/2009. Uniknya, sebagian besar kemenangan mereka diperoleh berkat gol dari titik penalti.

�Kita punya ambisi menang. Kalau main di kandang, semua klub pasti ingin menang dengan segala cara. Hadiah penalti adalah bagian dari sepak bola," kata Aspian Noor, Manajer Persisam.

# 15 Pertandingan kandang
# 20 hadiah penalti
# 5 penalti gagal

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/01/24/LU/mbm.20110124.LU135734.id.html


Uang Aman Pemimpin Lapangan
*

MATAHARI baru tergelincir ketika Sigit Wido keluar dari Hotel Mirah, Bogor. Ditemani seorang rekan, Wakil Sekretaris Umum Persatuan Sepak Bola Palangkaraya itu meluncur ke pusat keramaian di sisi utara kota. Kurang dari seperempat jam, taksi Bluebird mereka sampai di sebuah mal. Temannya menghubungi satu nomor, lalu mereka masuk ke tempat perniagaan itu.

Di antara etalase toko, dua pejabat klub sepak bola Persepar itu melihat tiga orang. Satu di antaranya memiliki ciri yang disebut penerima telepon: berpakaian gelap dan bersandal Adidas. Dialah Suwandi, wasit yang akan memimpin pertandingan Persepar melawan PSB Bogor, esok harinya. Dua lainnya hakim garis buat pertandingan yang sama. Mereka lalu saling menyapa, sebisa mungkin tak menarik perhatian orang lain. Kembali menyusuri selasar mal, iringan kecil ini menuju tempat sayur dan buah, lalu berhenti di pajangan pakaian.

Sigit mengambil tiga jas dan membayar di kasir. Rekannya memasukkan buntelan plastik berisi Rp 12 juta ke busana berlengan panjang itu, lalu menyerahkannya ke Suwandi. Sang wasit pun berjanji, pertandingan esok hari akan "lancar". "Kami bertemu ekstra-hati-hati agar tak ketahuan lawan," kata Sigit, mengenang peristiwa awal Juli 2008 itu.

Menurut Sigit, uang pelicin disodorkan agar wasit berlaku netral. Syukur-syukur wasit berpihak buat timnya. Tentu saja, karena bermain tandang, Sigit mendekati wasit dengan diam-diam. Kalau sampai tim lawan memergoki mereka, urusannya bisa berabe.

Esok harinya, klub dari Kalimantan Tengah itu dapat menahan gempuran tuan rumah. Pertandingan di Stadion Pajajaran yang disaksikan ratusan penonton itu berakhir seri, 0-0. Hasil ini membuat Persepar bertahan di papan atas klasemen Divisi I Liga Indonesia.

Sejumlah pemain PSB Bogor tak terima. Wasit dianggap tidak adil, banyak membuat keputusan yang menguntungkan tim tamu. Wasit Suwandi dan dua asistennya dipukuli. Para pemain Persepar tak berani ke luar stadion. Beruntung, polisi dapat mencegah amuk lebih besar. Mendapat pengawalan ketat, akhirnya pemain Persepar bisa ke luar lapangan dua jam kemudian.

Kepada Tempo, Jumat pekan lalu, Suwandi menyangkal menerima uang dari Persepar. "Saya memang ke mal waktu itu, tapi shopping saja, beli-beli celana, kaus," katanya.

l l l

KLUB bola Palangkaraya itu masuk Divisi I Liga Indonesia sejak 2007. Hingga kompetisi tahun lalu, Sigit mengatakan kerap menyelipkan suap. Menurut dia, tim yang hebat bukan jaminan bisa bertengger di peringkat atas. Karena itu, perlu "jalur lain" buat mengamankannya. Penyuapan wasit, kata Sigit, lazim dilakukan hampir semua klub-dari Liga Super hingga divisi paling bawah. "Kalau tidak, jangan harap bisa menang," ujarnya.

Suap diperlukan agar wasit tidak asal cabut kartu atau menunjuk titik penalti yang menguntungkan lawan. Dari semua pertandingan di kandang pada musim lalu, Persepar tak pernah kalah dan hanya sekali seri. Ketika bertandang, mereka juga jarang pulang dengan tangan hampa. Sebagian besar berakhir imbang.

Cerita suap ini tersebar di beberapa klub. Ilham Arief Siradjuddin, Ketua Umum PSM Makassar, menyatakan wasit perlu "didekati dengan baik". Manajer klub harus menjamu ekstra pemimpin pertandingan itu. "Terkait dengan �kesejahteraan'," katanya.

Bila hal itu tidak dilakukan, wasit sering bertingkah aneh dan kerap merugikan klubnya. Dia memberikan contoh pertandingan PSM Makassar melawan Semen Padang FC pada Sabtu, akhir November tahun lalu. Wasit Aeng Suarlan membatalkan gol Andi Oddang pada menit ke-37. Aeng menganggap Andi lebih dulu terperangkap offside.

Pendukung PSM jengkel. Amarah suporter makin tersulut ketika pada menit ke-70 tangan Park Chul-hyung, pemain belakang Semen Padang FC, menyentuh bola di dekat gawang. Alih-alih memberikan tendangan penalti buat tuan rumah, Aeng Suarlan tak meniup sempritannya. Penonton melempar botol minuman ke lapangan. Kerusuhan pecah. Puluhan fan PSM dari tribun utara masuk ke lapangan, mendobrak terali pembatas sekitar empat meter.

Situasi terkendali ketika beberapa orang dari manajemen PSM, termasuk Ilham, mengimbau para suporter agar mundur dan meninggalkan lapangan. Laga di Stadion Mattoanging, Makassar, itu disudahi tujuh menit sebelum waktu pertandingan Liga Super Indonesia tersebut habis. Hasilnya 1-0 untuk Semen Padang FC.

PSM Makassar melayangkan nota protes ke Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA). Dalam surat tersebut dicantumkan pula pernyataan Deny Marcel, kiper Makassar, yang mendengar bahwa wasit Aeng Suarlan mengatakan kariernya akan tamat jika memberikan hadiah penalti buat PSM.

Dihubungi Selasa dua pekan lalu, Aeng membantah menerima uang di balik keputusan kontroversialnya, apalagi diminta mengatur skor. "Saya memimpin sudah betul, semaksimal mungkin," kata Aeng. Menurut dia, saat itu bola yang menyentuh tangan pemain, bukan sebaliknya.

Mantan Manajer Persatuan Sepak Bola Jakarta Utara Harry Ruswanto mengatakan klub yang haus kemenangan akan melakukan banyak cara, termasuk membayar wasit atau pemain. Ini dimungkinkan karena celah itu terbuka. "Kelas hotel dinaikkan jadi hotel berbintang, kasih uang saku, ajak karaoke, atau dugem bagi yang suka," kata pria yang akrab disapa Gendar ini. Pelayanan tak berhenti di situ. Seusai laga, para pemimpin pertandingan itu tak lupa disodori buah tangan.

Wasit senior PSSI, Jimmy Napitupulu, tak menampik bahwa wasit sering mendapat hadiah dari tim tuan rumah. Tak hanya memperoleh perlakuan manis, wasit kerap mendapat tekanan dan ancaman. Sebelum bertanding, biasanya pengurus atau pemilik klub minta tolong agar wasit melakukan berbagai hal. Kalau klubnya menang, si wasit pun dikasih oleh-oleh.

Jimmy, yang pernah lolos seleksi wasit elite Asia, menilai jumlah wasit berkualitas bagus di Indonesia memang begitu minim. Kata dia, ini bermula dari cara perekrutan yang salah. Misalnya, calon wasit sekarang sering memalsukan umur agar lolos seleksi. Proses seleksi saat ini juga diduitin. Untuk ikut kursus saja, bayar Rp 7 juta. Kalau tidak lulus tapi mampu membayar, tetap diterima. "Berbeda dengan zaman saya. Waktu itu tak ada pungutan untuk jadi wasit nasional," katanya.

l l l

DI akhir jamuan makan malam lezat di restoran Cafe Boy, Jalan Sudirman, Palangkaraya, pejabat pusat PSSI itu berulang kali meyakinkan pengurus Persepar bahwa dia mampu mengawal tim itu sukses berlaga di Divisi I. Menurut dia, jaringannya di PSSI adalah jaminan kesuksesan. "Dia bahkan mengaku mampu mengkoordinasi wasit," ujar Sigit.

Esok harinya, Sigit dan seorang manajer Persepar berangkat ke Hotel Aquarius di Jalan Imam Bonjol. Sesuai dengan kesepakatan sehari sebelumnya, sebuah tas kecil hitam berisi uang tunai Rp 100 juta sudah disiapkan. Sementara Sigit menunggu di mobil, si manajer membawa tas tersebut dan menyerahkannya kepada sang pejabat PSSI. Menurut Sigit, uang itu merupakan pemberian kesekian kalinya. Itulah upeti Persepar agar mereka tak dipecundangi selama bertanding.

Seorang mantan pengurus pusat PSSI menengarai pria yang dimaksud Sigit adalah Subardi. Selain menjadi anggota Komite Eksekutif PSSI, pria asal Yogyakarta ini mengetuai Komite Kompetisi. Menurut sumber itu, para anggota Komite Eksekutif memang mempunyai "klub-klub binaan". Selain Persepar Palangkaraya, sejumlah klub di Jawa Tengah dibina Subardi.

Seorang pengurus klub di Jakarta menunjuk orang lain, Eko Soebekti, "bapak asuh" satu klub sepak bola yang disegani di Tanah Air. Para manajer tim Liga Indonesia mengenalnya sebagai orang yang punya lobi kuat mengatur wasit. Meski bukan pengurus PSSI, Eko punya jaringan kuat di organisasi itu. Sejak 2004, pria yang biasa disapa "Mbah Eko" ini lebih sering menangani klub di divisi satu dan dua. Tarifnya sekitar Rp 20 juta untuk satu paket pertandingan.

Ditemui Rabu pekan lalu di Apartemen Permata Senayan, Subardi membantah semua tudingan. Ia mengaku tak pernah "mengawal" Persepar Palangkaraya di Liga Indonesia. Menurut dia, tuduhan itu hanya ekspresi kekesalan tim yang kalah. Ia juga membantah menerima ratusan juta rupiah dari pengurus Persepar. "Ini pembunuhan karakter."

Setali tiga uang, Eko Soebekti menangkis tuduhan tadi. Ia mengaku tak tahu-menahu soal jejaring wasit, apalagi mengatur pemimpin lapangan itu menentukan skor permainan. Tarif puluhan juta sebagai jasa makelar pertandingan dianggapnya mengada-ada. "Saya ini agen pemain, tidak tahu soal itu," kata Eko.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/01/24/LU/mbm.20110124.LU135735.id.html


Aneka Akting Lapangan Rumput

Sepak bola lekat dengan jalan hidup Vigit Waluyo. Ayahnya, H M. Mislan, merupakan tokoh legendaris pendiri klub Delta Putra Sidoarjo-disingkat Deltras. Kini ia pun menjadi figur penting dalam persepakbolaan Jawa Timur. Selain memimpin pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia Jawa Timur, ia mengelola sejumlah klub "binaan".

Vigit menangani antara lain Persikubar Kutai Barat, Mojokerto Putra, Mitra Kutai Kartanegara, dan Deltras Sidoarjo. Ia juga menangani Persiwangi Banyuwangi dan menjadi Manajer PSIR Rembang. Dengan posisinya, ia tak kesulitan ketika menangani Persebaya Surabaya, yang pengurus lama klubnya bergabung ke Liga Primer Indonesia dan berganti nama menjadi Persebaya 1927. Ia segera memboyong para pemain dan pelatih Persikubar ke Surabaya.

Para pemain di klub binaan Vigit rata-rata berusia tua buat ukuran sepak bola. Tapi bukan sekadar teknis yang dituntut. Mereka jagoan "nonteknis", istilah yang sering dipakai buat menyebut urusan menyuap wasit dan pemain. "Dia punya puluhan pemain sepak bola, yang selalu mengikutinya ke mana pun," kata seorang pemasok pemain asal Jawa Timur.

Vigit siap "menangani" klub bergantung pada dana yang ditawarkan. Satu klub sepak bola di Jawa Timur pernah meminta bantuannya dengan tawaran Rp 10 miliar. "Saya tidak mau menanggapi tuduhan macam-macam," katanya ketika dimintai konfirmasi soal suap-menyuap. "Kalau memang materi pemain dan pelatihnya bagus, pasti menang."

Pemain merupakan unsur penting dalam patgulipat pengaturan hasil pertandingan. Bagaimana caranya? Kejadian Agustus tahun lalu ini bisa menjadi contoh. Ketika itu, lima orang pemain Persis Solo-Nova Zaenal Muttaqin, Haryadi, Eko Kancil, Andry, dan Tommy Haryanto-dihubungi nomor tak dikenal yang mengaku Manajer Persiku Kudus. Penelepon meminta mereka tak tampil pada laga playoff Divisi Utama di antara kedua klub di Stadion Jatidiri, Semarang.

Mereka diimingi uang setara dengan sisa gaji yang belum mereka terima dari Persis. Mereka juga akan direkrut ke Persiku pada musim selanjutnya. "Kami tak tahu apakah itu benar Manajer Persiku Kudus atau bukan. Saat kami coba hubungi balik, nomornya tak aktif," kata Nova, gelandang serang yang kini bergabung ke PSIM Yogyakarta.

Seorang pengurus klub yang biasa menjalankan trik "membeli" pemain mengatakan operasi selalu dilakukan rapi dan tanpa jejak. Tawaran tak pernah disampaikan melalui SMS. "Kalaupun perlu menelepon, akan menggunakan nomor yang tak akan dipakai lagi," katanya. Modus ini yang dipakai buat mendekati lima pemain Persis.

Menurut pengurus itu, trik "membeli" pemain membantu timnya melaju ke Liga Super. Selama bertarung di Divisi II pada 2002 hingga lolos Divisi Utama pada 2008, klubnya memanfaatkan jasa para calo penghubung beberapa pemain yang bisa "dibeli". Klub juga memelihara "tim buser wasit", kelompok wasit yang dapat disuap. "Ini cara kami berjuang dalam sistem yang kotor," katanya.

Permainan gelap ini banyak dilakukan lewat perantara yang merangkap sub-agen, yang menawarkan transfer pemain ke klub tapi tak mengantongi lisensi. "Mereka memiliki lobi dan jaringan kuat dengan para pemain," kata sumber yang sama.

l l l

Permainan kotor melibatkan tiga-lima pemain, yang menerima suap Rp 5-25 juta per pemain pada kompetisi Divisi 1 dan 2. Pada tingkat divisi ini, gaji para pemain sering terlambat. Klub yang mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terikat sistem keuangan daerah yang pencairannya pada bulan tertentu.

Di Divisi Utama dan Liga Super, suap minimal Rp 25 juta per pemain. Kongkalikong lebih sulit dilakukan di level ini. "Sebab, banyak sorotan media, mereka menjadi selektif," katanya. Para calo mendapat jatah 20-30 persen dari nilai suap, dibayar tunai, tak pernah transfer. Pembayaran 10 persen di muka, dan sisanya setelah klub "pengguna jasa" menang.

Pengurus klub tak memberikan arahan detail urusan akrobatik yang harus dilakukan pemain. "Mereka paham situasi," katanya. Ada seribu cara membuat pertandingan kacau demi menguntungkan klub yang bayar.

Berpura-pura dan marah paling mudah dilakukan. Aksi ini membuat pemain diganjar kartu atau menaikkan emosi dan menurunkan semangat tim. Modus lain yang paling sering dilakukan adalah bermain kasar di daerah penalti sendiri. Bisa juga pura-pura tak mampu membendung bola lawan.

Ada trik sejak 1980-an yang masih dipakai para penjaga gawang "bayaran" hingga sekarang. Kiper menyatukan telunjuk dan jari tengah dalam satu lubang jari sarung. Lalu jari manis disatukan dengan kelingking, juga di satu lubang. Alhasil, dua lubang jari sarung kosong. Tentu saja, bola gampang lolos dari tangkapan. Setelah kebobolan, kiper akan segera pasang tampang kesal dan kecewa. Ia melepas dan membuang sarung tangannya.

Beberapa pemain asing pun bisa dibeli. Nilai kontrak para pemain asing tak berbeda dengan pemain lokal kelas menengah ke bawah. Sebagian mendapat bayaran sekitar Rp 150 juta setahun. Selain pas-pasan, pembayarannya pun tak sesuai dengan kontrak.

Pemain asing asal Paraguay, Roberto Acosta, saat bermain di Deltras pada 2008 mengeluhkan 25 persen atau Rp 50 juta sisa kontrak belum dilunasi menjelang kontrak berakhir. Padahal 25 persen dari kontrak biasa diterima di awal kompetisi dan 75 persen diterima tiap bulan sebagai gaji.

Mantan General Manager Deltras George Handiwiyanto saat serah-terima kepengurusan menerima banyak sekali keluhan pemain asing. Menurut George, ada pemain yang dikontrak Rp 100 juta dan hanya menerima setengahnya. "Separuhnya dinikmati agen dan oknum pengurus klub, itu masuk kantong pribadi," kata George.

Hal senada diungkapkan mantan Manajer Persitara, Harry Ruswanto. Pemotongan kontrak pemain asing biasa dilakukan. Kalau pemain berkeberatan kontraknya dipotong, angka dalam kontrak dinaikkan. Bila harga pemain Rp 200 juta, kontrak yang tertera Rp 300 juta. Sisanya Rp 100 juta untuk kepentingan agen dan pengurus.

George sempat melaporkan masalah kontrak dan pertanggungjawaban keuangan yang tak beres di Deltras. Namun penyelidikan Kejaksaan Negeri Sidoarjo menguap. "Kasus ini sudah selesai, saya tidak ingin ada apa-apa lagi pada diri saya," ujar George. Soal kasus kontrak, Roberto yang sekarang bermain untuk klub di Vietnam tak memberikan jawaban atas konfirmasi Tempo lewat surat elektronik.

Tak semua pemain asing kaya mendadak setelah dikontrak klub di Indonesia. Mereka pun bersedia menerima "penghasilan tambahan". Menurut seorang pengurus klub, pemain asing dapat dihubungi lewat para agen. "Biasanya agen enggak enak menolak permintaan klub," katanya.

Klub menghubungi agen bila lawan mainnya memiliki pemain dari agen yang sama. Selain itu, kedua pemain asing tersebut berasal dari negara yang sama. "Mereka sulit diawasi, apalagi bila menggunakan bahasa asing yang tak dikenal," katanya.

Sub-agen yang banyak mengorbitkan pemain asing kelas menengah, Julian Baros, membantah tuduhan itu. "Tak pernah ada yang menawari saya cara seperti itu," katanya. Agen senior Eko Soebekti juga mengatakan tidak ada permainan seperti itu.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/01/24/LU/mbm.20110124.LU135736.id.html


Nirwan Bakrie: Wasit Memang Agak Rawan

FIGUR sentral Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) bukanlah Nurdin Halid. Meski resminya hanya menjabat wakil ketua umum, pengusaha Nirwan Dermawan Bakrie, 59 tahun, yang banyak berperan pada induk organisasi sepak bola Indonesia itu. Tangannya ada di mana-mana: Badan Tim Nasional, PT Liga Indonesia, sampai Yayasan Sepak Bola Indonesia When I'm 64. Yayasan ini sedang membangun kompleks Akademi Sepak Bola di lahan 25 hektare milik keluarga Bakrie, di Jonggol, Jawa Barat.

Nurdin mengakui peran besar Nirwan dan keluarganya. Ketika lolos ke final Piala Federasi Sepak Bola ASEAN, Desember lalu, tim nasional khusus berkunjung ke rumah kakak Nirwan, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. "PSSI berterima kasih atas segala sumbangsih luar biasa keluarga Bakrie untuk kami," kata Nurdin ketika itu.

Bukan sekadar pengurus elite PSSI, Nirwan pun diduga mendukung Arema, klub asal Malang peserta Liga Super Indonesia. Pada musim kompetisi 2009-2010, tim itu pun menjadi juara liga. Jumat pekan lalu, selama hampir dua jam, Nirwan melayani wawancara wartawan Tempo Rofiqi Hasan, di Bakrie Estate, vila pribadi yang asri, tepat di tengah kompleks Hotel Pan Pacific Nirwana Bali Resort miliknya. Hiruk-pikuk Kongres PSSI sama sekali tidak merisaukan dia.

Praktek suap marak di Liga Super Indonesia?


Semua diawasi Komisi Disiplin. Tapi memang susah mengatur soal suap, karena sulit dibuktikan. Kadang terdengar tapi tidak tahu lagi. Tapi saya lihat, kalau suap antarpemain lebih sedikit, karena tanggung jawab mereka ke klub cukup berat. Nah, kalau wasit memang agak rawan, karena mereka bisa mempengaruhi pertandingan. Ini bisa kelihatan dari adil-tidaknya dia memimpin. Itu kita evaluasi.

Ada informasi petinggi PSSI punya klub-klub tertentu yang "dikawal" khusus?


Kalau niatnya membela bekas klub, bisa saja. Tapi, kalau wasit dan Komisi Disiplin tegas, tidak akan ada masalah.

Anda ikut membiayai dan mengawal klub Arema Indonesia sampai jadi juara Liga Super musim lalu?

Saya dengar itu. Tapi itu tidak benar. Saya memang punya perusahaan di Malang yang menjadi sponsor Arema. Jumlahnya juga kecil, hanya 5 persen dari puluhan miliar kebutuhan Arema. Jadi tidak masuk ke manajemen. Bukan saya yang mem-back up Arema. Kalau kepemilikan, saya hanya punya Pelita Jaya.

Waktu PT Bentoel meninggalkan Arema, Anda memang diminta membantu?


Waktu itu Badan Liga Indonesia yang mencarikan sponsor. Yang mengikat kontrak, ya, klub itu. Pak Andi (Andi Darussalam Tabusalla, Presiden Direktur PT Liga Indonesia) membantu Arema bukan sebagai orang dekat saya, tapi sebagai Direktur Badan Liga.

Tapi, dengan adanya dukungan Anda dan Andi Darussalam, klub lawan dan wasit jadi segan mencurangi Arema....

Tidak ada itu. Itu saya dengar juga. Termasuk soal jadi juara itu, ya. Arema hanya bisa juara kalau dia menang terus. Kualitas mereka memang bagus.

Klub milik Anda, Pelita Jaya, kabarnya juga "diselamatkan" dari degradasi dengan mengorbankan Persebaya?

Saya dengar itu. Saya sih gampang saja, waktu itu saya minta Pelita menang terus, supaya bisa playoff. Saya tidak bisa memaksa satu tim menang atau kalah. Tidak boleh. Apalagi semua anggota PSSI. Saya dengar semua isu itu. Saya sih tidak terlalu memikirkan. Asal tak melanggar peraturan, saya jalan terus saja.

Banyak orang ingin Nurdin Halid turun dari kursi Ketua Umum PSSI....


Coba lihat prestasi dia. Soal bekas narapidana, peraturan FIFA membolehkan. Apalagi anggota tetap memilih dia. Kalau soal tak disukai, semua Ketua Umum PSSI pernah diminta turun di tengah jalan.

Anda tidak mau jadi ketua umum?


Itu butuh kehadiran fisik 24 jam sehari. Kalau di negara lain, ada acara, ketua umum bisa diwakili. Di sini tidak bisa. Tapi saya siap membantu semuanya.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/01/24/LU/mbm.20110124.LU135737.id.html


Sumber: Kompasiana

Related Articles :


Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 comments:

Post a Comment

TOP.ORG Topsites The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di Dadaku

FACEBOOK

Find us..

PhotobucketPhotobucketPhotobucket

BANNER

Photobucket Photobucket Photobucket

ADS

 

SETAN OREN Copyright © 2010 SetanOren.blogspot.com is Designed by SetanOren