Photobucket
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

11 March 2011

Persija, Tionghoa, dan Piala Dunia


Jakarta - Sebagai Daerah Khusus Ibu Kota, wajar jika Jakarta menjadi salah satu titik konsentrasi pencarian dan pengembangan pemain muda berbakat PSSI.

Jakarta menjadi satu dari 14 kota dan 12 provinsi yang menjadi pusat pencarian bakat-bakat muda pemain sepakbola yang dibidik PSSI.

Hampir di setiap generasi, DKI Jakarta melahirkan pemain-pemain berkualitas yang menjadi tulang punggung Tim Nasional Indonesia, bahkan di era sebelum kemerdekaan, yang saat itu masih bernama Dutch East Indies alias Hindia Belanda. Kala itu, Hindia Belanda menjadi wilayah di Asia pertama yang menembus Piala Dunia, yakni pada 1938.

Yang menarik, sepak bola di Jakarta berkembang berkat komunitas etnis Tionghoa yang mendirikan Lapangan Petak Sinkian pada 1905. Petak Sinkian belakangan dikenal sebagai lapangan Union Makes Strength (UMS), nama tim bentukan komunitas tersebut, yang berkali-kali menjurai Voetbal Bond Batavia Omstreken (VBO) era 1930-an dan 1949. Pada 1950, VBO berubah menjadi Persatuan Sepak Bola Jakarta (Persija) dan UMS pun membuka pintu kepada warga pribumi.

Di kemudian hari, UMS dan Chung Hwa, menjadi pemasok pemain bagi Persija dan Timnas Indonesia. Sebut saja Kwee Hong Sing, kakek dari pemain Indonesia berdarah Belanda Kim Jeffrey Kurniawan. Belum lagi Iat Sek, Chris Ong, Him Tjiang, Tek Eng, Tan Liong Houw, dan Wim Pie.

Setelah UMS membuka pintu bagi warga pribumi, bintang-bintang kembali dilahirkan klub legendaris tersebut. Muncul nama Mohammad Djamiat Dalhar. Pemain kelahiran Yogyakarta itu membentuk duet tangguh di lini depan Timnas bersama sang legenda, Ramang, di era 1950an.

Berikutnya Oyong Liza, Rony Paslah, Isman Jasulmei, Ruli Nere, Ely Idris, Ricky Yacobi, Hadi Mulyadi, Surya Lesmana, dan banyak lagi. Sebagai Ibu Kota, yang didiami penduduk dari beragam etnis, wajar bila beragam pula etnis yang mengikuti pembinaan sepak bola di kota yang pada Belanda dinamai Batavia itu.

Generasi selanjutnya, UMS berhasil melahirkan mantan penyerang Timnas Indonesia, Widodo Cahyono Putro. Penyerang yang mencetak gol terbaik di Piala Asia 1996 dengan gaya salto itu kini menjadi asisten pelatih Timnas Indonesia.

Namun kini situasinya sudah berbeda. Sedikit sekali pemain-pemain binaan kota Jakarta yang bisa menembus Timnas. Jangankan menembus Timnas, hanya untuk masuk ke tim utama Persija Jakarta, yang notabene menaungi klub-klub amatir di daerah Jakarta dan sekitarnya, mereka kesulitan.

Dua ikon Macan Kemayoran, Bambang Pamungkas dan Ismed Sofyan, bukanlah pemain asli binaan DKI Jakarta. Hanya Hasim Kipauw dan Ramdani Lestaluhu yang sukses menembus tim utama Persija. Nama terakhir sempat bergabung dalam pemusatan latihan Timnas Pra-Olimpiade.

Minimnya sarana dan prasarana di Ibu Kota, yang pada akhirnya membatasi kegiatan kompetisi usia muda, ditengarai menjadi salah satu penyebab utamanya. Lapangan Menteng sudah digusur dan dijadikan taman. Lalu, Lapangan UMS yang legendaris sudah bukan menjadi hak milik pengurus UMS lagi setelah terjadi sengketa kepemilikan. Alih fungsi bisa terjadi sewaktu-waktu jika pemiliknya menginginkan demikian. Terakhir, stadion Lebak Bulus dipastikan digusur akhir tahun ini untuk dijadikan terminal sistem transportasi cepat masal (MRT).

Pelatih Persija Rahmad Darmawan sepakat dengan hal ini. "Tempat seperti Lapangan Menteng adalah sarana yang baik untuk berkompetisi. Banyak pemain yang dihasilkan, bahkan saya pun masuk Timnas Indonesia. Tapi sekarang tahu sendiri, lapangan di Jakarta sangat sulit," jelas mantan pelatih Sriwijaya FC, seperti dikutip dari Bataviese.

"Jika ada sarana pendukung dan memiliki kompetisi yang sehat, saya yakin akan ada pemain asli binaan Jakarta yang muncul ke permukaan," tegasnya.

Terbatasnya sarana dan prasarana serta mahalnya lahan di Jakarta membuat PSSI Jakarta lebih banyak bergantung pada swasta. Sekolah Sepak Bola Villa 2000 adalah salah satu SSB berprestasi, yang dua kali mewakili Indonesia di ajang internasional Manchester United Premier Cup. Pencapaian terbaik mereka adalah mewakili Asia untuk tampil di Inggris.

Selain itu, ada SSB elit Arsenal Indonesia. SSB yang berafiliasi langsung dengan klub elit Liga Primer Inggris Arsenal itu bahkan memiliki lapangan sendiri.

Infrastruktur menjadi kunci pembinaan olahraga, termasuk sepakbola, dan untuk yang satu ini, adalah tugas pemerintah untuk menyediakannya. Itu jika kita masih ingin menciptakan kembali generasi emas sepakbola nasional.

Sumber: inilah.com

Related Articles :


Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

2 comments:

Turunkan Nurdin said...

Sebenarnya etnis Tionghoa dari dulu sudah menjadi bagian integral perjalanan bangsa Indonesia. Termasuk perkembangan sepakbola. Tionghoa turut andil dalam kemerdekaan, juga masa awal2 berdiri PSSI. Cuma nuansa politik secara umum kurang ramah bagi etnis Tionghoa Indonesia. Yang berimbas juga di dunia sepakbola. Untuk urusan pemain timnas, yang beretnis Cina sangat jarang sekali. Seingatku terakhir era 80-an. Ada Wahyu Tanoto (anak LH Tanoto, seorang pelatih legendaris) kiri luar yang lincah. Kemudian ada gelandang cerdik Billy Tjong (anak Harry Tjong, seorang pelatih legendaris juga). Setelah era mereka, (mungkin aku salah) tak ada lagi pemain tionghoa dalam Timnas. Jadi sudah amat lama sekali. Sayang Chris John bukan pemain bola ya ? Hehe.

aku datang said...

setuju untuk turunkan nurdin sekarang juga

Post a Comment

TOP.ORG Topsites The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di Dadaku

FACEBOOK

Find us..

PhotobucketPhotobucketPhotobucket

BANNER

Photobucket Photobucket Photobucket

ADS

 

SETAN OREN Copyright © 2010 SetanOren.blogspot.com is Designed by SetanOren